Kamis, 02 Agustus 2007

ISLAM DAN MASALAH PEMBARUAN

Oleh Mudhofir Abdullah

Hingga sekarang, tidak seluruh umat optimis menatap masa depan peradaban Islam. Hilangnya optimisme ini terjadi sebagian karena fakta-fakta obyektif tentang dunia Islam yang merosot. Sejak persentuhannya dengan abad modern (sekitar sejak abad ke-17), dunia Islam limbung dan gugup mencari cara-cara baru untuk menghadapinya. Respon dan serangkaian strategi pun dibuat melalui pembaruan-pembaruan. Lalu sampai di mana hasilnya hingga kini?
Pertanyaan ini adalah pertanyaan besar umat Islam sampai sekarang. Kegelisahan ini muncul hampir merata di kalangan umat Islam. Di kalangan kaum Muslim modernis, kegelisahan itu ditunjukkan dalam karya-karya mereka yang mendobrak kebekuan doktrin Islam. Di kalangan Muslim awam, kegelisahan itu muncul dalam bentuk radikalisme agama. Respon dan metode pembaruan seperti apalagi yang harus dilakukan? Kita namapkanya perlu metode pembaruan spesifik yang dapat mendobrak kebekuan dan merengkuh kebangkitan dalam artinya yang luas.

Perlunya metode pembaruan
Pembaruan Islam memerlukan metode. Tanpa metode, sebuah pembaruan tidak akan efektif dan tidak bisa berjalan dengan orientasi-orientasi yang jelas. Metode diperlukan untuk mempertajam perkakas-perkakas analisis dan membuka peta-peta jalan ke arah mana pembaruan akan ditempatkan. Ibarat sebuah peta, metode menunjukkan titik-titik tujuan yang hendak dicapai. Metode, tentu saja, bisa berubah, bersifat dinamis, dan dibuat dengan standar-standar yang dapat dipertanggungjawabkan secara logika, moral, dan juga ilmiah.
Metode pembaruan Islam sepanjang sejarahnya tidak seragam. Metode pembaruan ini muncul sebagai respon kaum elit agama (ulama) atas pelbagai perubahan yang terjadi di masyarakat. Respon ini mengambil bentuk secara berbeda. Ada yang memilih cara-cara moderat, fundamentalis, maupun liberal. Ketiga metode respon ini pun, dengan variannya masing-masing, mengalami perubahan dan dinamika sesuai dengan situasi kesejarahan serta pengalaman yang dihadapi (likulli maqam maqal).
Setiap metode pembaruan digerakkan oleh tokoh-tokohnya sendiri. Tokoh-tokoh inilah yang mewakili gugusan kaum elit yang menggerakkan perubahan-perubahan penting dalam masyarakatnya. Aktivitas kaum elit ini sangat menentukan tahap-tahap perkembangan masyarakat. Mengutip Toynbee, perkembangan peradaban berkaitan dengan karya kreatif kelompok minoritas (gugusan elit) yang harus memikirkan tanggapan yang tepat atas tantangan sosial dan juga mendorong masyarakat memilih alternatif tanggapan yang direncanakannya. Jika elit ini, kata Toynbee lebih lanjut, tidak dapat lagi memenuhi fungsi ini, maka peradaban akan mengalami kemunduran dan selanjutnya kematian.
Demikianlah, para pembaru telah melakukan serangkaian kerja intelektual serius. Dari Muhammad Abduh di awal abad 19 hingga kini pembaruan terus dilakukan. Namun, pengaruhnya belum memperbaiki dunia Islam secara signifikan. Pro-kontra tentang pembaruan Islam terus berlangsung dan ini berjalin kelindan dengan dominasi Barat yang mencengkram kokoh dunia Islam. Alih-alih menemukan metode-metode utama tentang pembaruan Islam yang andal, dunia Islam hustru menghadapi gejolak politik dalam negeri dan isu-isu kemiskinan yang menjerat warganya. Krisis pendidikan, krisis ekonomi, dan krisis-krisis lainnya tergambar dari merosotnya peradaban Islam sejak lebih kurang 200 tahun yang lalu.
Benar bahwa Islam telah mampu melewati (meski dengan perjuangan keras) lima peradaban besar (Yunani, Semit, Persia, India, dan China) tanapa kehilangan identitas kulturalnya, namun kini terasa berat menghadapi dominasi Barat yang unggul dalam semua bidang. Islam dalam persimpangan jalan antara memilih metode tradisionalisme ataukah sekularisme. Modernitas bagi Islam merupakan pengalaman yang sama sekali berbeda dan sulit untuk dihadapi sepanjang sejarahnya.
Kegamanagan Islam pada modernitas bukanlah sesuatu yang ganjil. Hal yang sama juga dialami oleh semua agama, termasuk Kristen dan masyarakat Barat. Modernitas telah menyebabkan institusi-institusi keagamaan harus melakukan redefinisi atas tafsir-tafsir teologis dan peran-perannya di masyarakat yang baru. Modernisme di dunia Muslim muncul sebagai suatu perpaduan dua ideologi Barat: teknikisme dan nasionalisme. Tetapi Barat-Kristen telah selesai menghadapi ini dengan memisahkan agama dari institusi-institusi negara dan keluarga. Inilah yang disebut sekularisme.
Di sisi lainnya, Islam masih bergulat mencari cara-cara baru. Dan pergulatan ini terus berlanjut membentuk siklus yang tak berujung pangkal, hingga kini. Haruskan umat islam menempuh jalan sekularisasi sebagaimana Barat-Kristen? Secara umum akan dijawab tidak. Tetapi secara tidak disadari, sekularisasi telah dipraktikkan sebagian besar masyarakat Islam. Sekularisasi telah menjadi pandangan yang lumrah dan telah dianggap sebagai keharusan total dalam kehidupan modern. Bukan saja oleh negara-negara yang terang-terangan menyebut dirinya sekuler seperti Turki, tetapi juga oleh negara-negara yang secara keras menolak sekularisme.
Sejak Muhammad abduh (1849-1905) mendeklarasikan bahwa Islam dapat direkonsiliasikan dengan pemikiran modern, sejak itu pula terbuka pintu bagi membanjirnya doktrin intelektualisme baru dengan inovasi-inovasi modern. Artinya, seperti dikemukakan Albert Hourani, "Dia bermaksud membangun tembok untuk membendung sekularisme, tetapi ternyata justru menyediakan jembatan yang melapangkan jalan bagi skeularisme. Murid-muridnya belakangan membawa doktrinnya ke arah sekularisme total" (Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age: 1798-1939, 1983:144).
Meski masih diperdebatkan, sekularisasi adalah proses global yang disadari atau tidak kini telah melanda bangsa-bangsa Muslim di seluruh dunia. Sekularisasi adalah ciri dari modernitas. Modernitas berintikan teknologi. Ini berarti urbanisasi dan industrialisasi merupakan keniscayaan dari masyarakat modern yang, tentu saja, telah membawa serta perangkat-perangkat nilai yang sama sekali berbeda. Cara baru, metode baru, respon baru, dan paradigma baru diperlukan agar relevansi agama (baca Islam) dan kehidupan tetap terjaga. Pembaruan Islam adalah salah satunya.
Namun senyampang dengan perubahan-perubahan sosial yang cepat, pembaruan Islam tak lagi memadai untuk merespon cepatnya perubahan-perubahan itu. Pembaruan seperti kehilangan ruhnya dan tak lagi mampu mengejar lagi. Bahkan ada pembaruan atau tidak, tak ada pengaruh. Agama dan kehidupan modern berjalan sendiri-sendiri. Agama tak lagi mampu memandu arah-arah pergerakan masyarakat. Kehidupan lebih banyak dikendalikan oleh pasar. Inilah yang dirasakan umat Islam, kini.
Saya curiga, bahwa jangan-jangan masyarakat Islam secara perlahan tetapi pasti, sedang menjalani tahapan kehidupan sebagaimana dijalani masyarakat Barat-Kristen. Jangan-jangan pilihannya akan jatuh pada "manifesto perceraian agama dari ranah kehidupan publik" (baca: sekularisasi total) dan tidak lagi peduli pada gagasan-gagasan ortodoksi Islam. Jika amatan ini benar, maka dapat dikatakan bahwa pembaruan Islam adalah sama dan sebangun dengan sekularisasi.
Betulkah sekularisasi segala hal sedang terjadi pada masyarakat Muslim dan menjadi metode pembaruan alternatif? Jika sekularisasi adalah pemanfaatan akal untuk mengeksplorasi agama dan sains sebagaimana didefinisikan Cak Nur pada 1970-an, maka ini baik. Tapi jika maksudnya adalah pemisahan struktural dan pengasingan agama serta hilangnya kredibilitas agama pada pengalaman manusia, maka ini berita buruk. Untuk makna yang disebut terakhir, kita harus menemukan strategi penyelamatan melalui strategi kebudayaan, yakni lewat pembenahan total pendidikan Islam. Wallahu a'lamu bil shawab.


Jumat, 20 Juli 2007

Karya-karya Bijak tentang Ecology

Krisis-krisis ekologi kini kian memburuk. Pandangan hidup yang bersifat hedonistik dan materialistik membuat alam dikuras dan dijadikan pelacur. Tingkat konsumsi yang boros dan bermewah-mewah membuat alam kian kedodoran dan berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan. Bencana-bencana yang terus menimpa umat manusia menjadi bukti bahwa alam tak lagi nyaman untuk dihuni. Umat manusia terlepas dari perbedaan agama, bahasa, etnis, dan golongan harus bahu-membahu mencegah kerusakan dan krisis ekologi. Pemanasan global yang akibat-akibatnya mulai terasa harus dicegah dan ini tidak cukup hanya oleh kalangan pemerintahan tetapi yang paling penting adalah umat beragama dengan kekuatan moral dan imannya.
Seruan untuk peduli pada masalah ekologi harus secara terus-menerus diteriakan. Demikian pula ajaran agama harus disajikan dengan konsep-konsep ekologi, sehingga umat menjadi sadar bahwa memelihara lingkungan sama pentingnya dengan beribadah.

Berikut ini saya sarankan untuk membaca buku-buku tentang ekologi yang bisa menggugah getar-getar hati untuk melaksanakannya.
1) Mustafa Abu-Sway "Towards an Islamic Environment: Fiqh al-Bi'ah fil-Islam". Tulisan ini disampaikan di Masjid Belfast Amerika Serikat pada Februari 1998. Karya ini menjelaskan bahwa Islam merupakan agama yang paling komprehensif dalam perhatiannya terhadap masalah-masalah manusia dan lingkungannya. Dia menyajikan ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis untuk menunjukkan bahwa Islam itu peduli pada lingkungan.

2) "Religion and The Order of Nature" karya Seyyed Hossein Nashr.
Meski karya ini tidak secara spesifik bicara soal lingkungan dalam perspektif Hukum Islam, namun muatan kajian dan analisisnya mengacu pada tradisi Islam. Ini bisa dimengerti karena Nasr adalah intelektual Islam yang pemikirannya sangat kental dengan khasanah keislaman sebagaimana ditunjukkan dalam buku-bukunya, termasuk karyanya ini.
Nasr dalam karyanya ini menjelaskan bahwa bumi kita ini sedang mengalami pendarahan hebat akibat luka-luka yang dideritanya akibat ulah manusia yang sudah tidak lagi ramah padanya. Pandangan sekular dan ilmu pengetahuan serta teknologi yang tercerabut dari akar-akar spiritualitas dan agama, membuat bumi kian mengalami krisis dan terus menghampiri titik kehancurannya. Karena itu, peran agama untuk membantu mengatasinya merupakan sesuatu yang krusial (Lihat Hussein Nasr, 1996:3).

Kamis, 12 Juli 2007

Kearifan Lingkungan

Bencana alam dan bencana-bencana lainnya, sejatinya, tidaklah sepenuhnya karena ulah alam. Manusia ikut berkontribusi, misalnya, karena alpa dan masa bodoh menjaga alam, lingkungan atau tidak mengindahkan isyarat-isyarat dan peringatannya. Alam dan lingkungan dikuasai dan dieksploitasi tanpa pernah secara cermat dan arif dijaga serta dilestarikan. Ibarat pelacur, alam hanya dieksploitasi untuk kesenangan sesaat dan setelah itu ditinggalkan begitu saja. Kearifan untuk mengelolanya dikalahkan oleh nafsu berahi kepuasan egoistiknya. Penguasa, pengusaha, dan sekelompok manusia serakah menggadaikan laut, bumi, hutan dan lingkungan untuk menumpuk harta dan kekayaan. Tak heran jika keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmosnya terganggu dan rusak.

Dari ajaran agama hingga ajaran para filosof menyebutkan bahwa alam semesta adalah sumber kebajikan. Karena itu, manusia disarankan untuk berharmoni dan meniru perilaku alam semesta jika ingin memperoleh keutamaan hidup.

Alam semesta adalah jejak-jejak keagungan Allah dan manusia diperintahkan untuk mengelolanya dengan sebaik-baiknya untuk menimbulkan sebanyak-sebanyaknya kemanfaatan bagi umat manusia. Bertindak culas pada alam semesta adalah sebuah tindakan menggali kuburannya sendiri. "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat ulah mereka sendiri" QS., al-Rum: 41. Adakah bencana beruntun selama ini akibat ulah bangsa dan para pemimpin kita dalam mengelola alam semesta?

Pertanyaan ini harus menjadi renungan bersama. Apalagi bencana datang terus-menerus seperti menyampaikan pesan kekonyolan perilaku kita. Bencana-bencana itu tidak normal dilihat dari sisi logika karena terjadi secara berulang. Makna pembangunan, makna pemerintahan, dan makna kepemimpinan dipertanyakan kembali. Bahkan makna kegairahan beragama dinilai gagal menyadarkan dan mengarahkan manusia pada ketajaman membaca pada tanda-tanda dan isyarat-isyarat alam beserta segenap tanggung jawab pengelolaannya.


Mudhofir Abdullah

Islam dan Masalah Lingkungan

Dalam Islam, ajaran tentang lingkungan sangat berlimpah baik implisit maupun eksplisit. Kata bumi (ardh), misalnya, disebut sebanyak 485 kali dalam al-Qur'an.Belum lagi dalam Hadis. Namun potensi tentang konsep-konsep kepedulian pada lingkungan belum dieksplorasi secara maksimal oleh para intelektual Islam. Sedikit sekali tulisan-tulisan tentang Islam dan Lingkungan dari para ulama. Padahal krisis-krisis lingkungan kian parah. Maqashid al-Syari'ah (yakni, menjaga agama, menjaga, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang diakui sampai sekarang sulit ditegakkan jika lingkungan kian memburuk. Karena itu, urgensi mengembangkan Fiqh al-Bi'ah (Fikih Lingkungan) dalam kehidupan umat sangat penting dilakukan.
saatnya, para ulama dan tokoh-tokoh agama mengubah tema-tema tulisan ke isu-isu lingkungan. selanjutnya menyebarkannya ke semua pemeluk agama. Hal ini dilakukan karena masalah lingkungan tak cukup hanya diatasi dengan seperangkat Hukum dan Undang-Undang, tetapi harus ditopang oleh nilai-nilai etika dan agama. Islam dalam kasus ini sangat potensial untuk menopang keberlangsungan ekologi.
Fikih-fikih klasik hanya fokus pada masalah taharah, pakaian, makanan, dan sejenisnya. Tetapi masalah lingkungan kurang diperhatikan. Ini bisa dimengerti. mungkin dulu masalah lingkungan belum separah sekarang, sehingga kepedulian pada masalah lingkungan tidak spesifik. Bab-bab Fikih perlu ditambah terutama masalah menjaga lingkungan. Bukankah bencana-bencana yang terus menimpa bangsa kita akibat salah kelola lingkungan? bencana-bencana tidak selalu karena alam, tetapi juga karena kealpaan manusia yang menghuni bumi. Hutan gundul, pengerukan pasir, penyalahgunaan tepi pantai, dan lain-lain ikut berkontribusi. Inilah yang perlu mendapat perhatian semua ulama. Fiqh al-Bi'ah adalah sebuah keniscayaan.