Selasa, 05 Mei 2009

Infiltrasi Ideologi Terorisme

Oleh: Mudhofir Abdullah*
(Dosen STAIN Surakarta)


Teka-teki tentang siapa Arman kini kian jelas. Identitas Arman yang ikut tewas bersama Dr Azahari dalam penggerebekan Tim Antiteror Detasemen 88 Mabes Polri 9/11 di Batu Malang, Jawa Timur beberapa hari yang lalu sempat menjadi misteri. Menurut Kapolri, Arman yang sering disebut-sebut sebagai asisten Dr Azahari adalah bernama asli Agus Puryanto (SOLOPOS, 21/11). Headline di sejumlah koran lokal maupun nasional memuat foto Arman alias Agus Puryanto (selanjutnya disingkat AP) yang didapat wartawan dari file Bagian Akademik STAIN Surakarta (yang kemudian menjadi rujukan media massa baik cetak maupun elektronik). Yang menarik, sebuah harian lokal menulis besar-besar headline-nya “Arman kuliah di STAIN Solo” (SOLOPOS, 21/11).
Benarkah Arman adalah Agus Puryanto yang kuliah di STAIN Solo? Bagaimana Arman alias AP yang dikenal sangat lugu dan kalem bisa bersua dengan Dr Azahari? Bagaimana pula infiltrasi ideologi kaum teroris ini memasuki alam pikirannya? Itulah beberapa pertanyaan yang muncul dalam benak masyarakat.
Politik infiltrasi
Dari data yang ada, AP yang disebut Kapolri sebagai Arman, yang dikuatkan dengan hasil tes DNA dan positif, adalah mahasiswa Jurusan Tarbiyah STAIN Solo angkatan 2000. Statusnya mahasiswa aktif yang “mengambil” cuti mulai Juli 2005. Menurut keluarganya, dia terakhir pamit pada Agustus 2005 untuk konsentrasi menyelesaikan skripsi di rumah temannya. Aktivitas sebelum pamitan, selain kuliah, adalah mengajar TPA dan membantu usaha percetakan pamannya di Cemani Grogol Sukoharjo. Dia juga tak pernah ikut organisasi atau kegiatan lain yang mencurigakan.
Data singkat ini memperlihatkan bahwa Arman alias AP merupakan rekrutan baru komplotan Dr Azahari. Arman alias AP, dilihat dari latar belakangnya, bukanlah anggota “Jamaah Islamiyah” atau kelompok-kelompok yang memiliki anasir-anasir teroris. Lalu, melalui pintu mana anasir-anasir radikalisme liberal yang berujung pada ideologi terorisme masuk ke alam pikirannya? Mengapa posisi Arman alias AP sangat penting dan menjadi kepercayaan gembong teroris Dr Azahari dalam waktu singkat? Sungguh ini teka-teki yang sangat menarik untuk dipecahkan.
Sedikitnya ada dua analisis terkait dengan melejitnya posisi Arman alias AP di gerbang kedekatannya dengan Dr Azahari. Pertama, berbeda dengan rekrutan lain yang kebanyakan lulusan SMP atau SMA bahkan pekerja bangunan, Arman alias AP dianggap rekrutan potensial dari kalangan mahasiswa sebuah perguruan tinggi Islam sehingga mudah berkomunikasi dan menerjemahkan ide-ide mereka dengan cepat. Kedua, Arman alias AP dianggap paling dapat dipercaya dan dengan cepat memiliki ketrampilan merakit bom sehingga bisa membantu Dr Azahari.
Jadi, pada diri Arman alias AP terkumpul kemampuan teknis dan ideologis sekaligus. Seperti diketahui, Dr Azahari adalah pakar perakit bom yang kemampuannya luar biasa. Sementara Noordin M Top adalah seorang ideolog yang merupakan atasan Dr Azahari dan bertugas melakukan brainwashing terhadap anak-anak muda. Arman alias AP, dalam konteks analisis ini, tentu cukup penting posisinya dan sangat tahu rahasia keseluruhan strategi komplotan Dr Azahari. Di mata komplotan ini, Arman merupakan sosok masa depan sehingga berada di lapis dan gerbang inti lingkaran Dr Azahari. Itulah mengapa, dalam penggerebekan di Jalan Flamboyan II Batu, Malang 9/11 yang lalu Arman alias AP memilih meledakkan diri. Sementara Dr Azahari masih melawan sampai akhirnya tertembak Tim Antiteror Detasemen 88.
Terseretnya Arman alias AP pada komplotan Dr Azahari menunjukkan kepiawaian komplotan ini dalam melakukan politik infiltrasi. Kemungkinan sejumlah pertemuan telah terjadi. Mungkin di kampus, di masjid, atau di mana saja melalui kaki tangan Azahari. Diduga kuat, sejak Agustus beberapa bulan lalu dia pergi ke lokasi bawah tanah tempat mangkalnya komplotan Azahari bermarkas. Dan di sanalah doktrin serta ideologi komplotan Azahari mencuci bersih otaknya. Mungkin saja, perkenalannya sudah lama dan setelah bertarung dengan konflik batin dan faktor-faktor lain yang bersifat psikis, ekonomis, dan budaya lalu memutuskan untuk bergabung. Atau mungkin sebelumnya telah membaca buku-buku tentang jihad dan tafsir-tafsir jaringan ini sehingga menjadi prakondisi yang melicinkan jalan ke gerbang aktivitas terorisme.
Jika kemungkinan-kemungkinan di atas benar, kita patut curiga jangan-jangan kasus Arman alias AP hanyalah puncak gunung es saja dan masih banyak lagi yang belum terungkap. Ini berarti “masih banyak lagi” yang sudah atau telah dicoba rekrut oleh komplotan Dr Azahari ini dari kalangan mahasiswa STAIN Solo atau mahasiswa-mahasiswa lain di sejumlah kampus lainnya. Kita perlu mewaspadai menyusupnya ideologi terorisme yang diusung oleh komplotan Azahari di sekitar kita.
Sejak komplotan “Jamaah Islamiyah” yang terkait dengan Al Qaedah diuber-uber polisi bahkan dunia, nama JI tak lagi digunakan. Pola dan strategi operasinya berubah. Pola rekrutmen anggota baru tidak lagi hanya dari kalangan mereka saja, tetapi meluas hingga ke siapa saja yang mudah di-brain wash. Apalagi aliran dana mulai teramputasi sehingga operasi terorisme yang berbiaya sangat mahal ikut tersendat. Meski begitu, ideologi semacam ini sulit dihentikan. Seperti pernah saya tulis dalam harian ini (SOLOPOS, 16/11) ia tetap menyala seperti api dalam sekam selama akar-akarnya tak pernah tuntas diselesaikan. Dan tumbal-tumbal baru akan terus bermunculan.
Upaya membendung
Sesungguhnya, secara genealogis lembaga pendidikan tinggi Islam (UIN, IAIN, STAIN dan PTAIS) merupakan tempat persemaian pemikiran yang relatif terbuka. Tradisi berfikir kritis cukup hidup sehingga memungkinkan para mahasiswa terbiasa dalam wacana-wacana keislaman dan peradaban yang bersifat comparative perspective dan “multikultural”. Karena itu, cukup mengejutkan ketika ada yang bisa terseret pada doktrin dan ideologi komplotan Dr Azahari, yang dipandang dari segi apapun sulit diterima akal.
Dilihat dari kurikulum, metode belajar-mengajar, lingkungan, koleksi perpustakaan dan lain-lainnya di STAIN Solo, tempat Arman alias AP kuliah, tidaklah kondusif bagi terciptanya radikalisme semacam ini. Besar kemungkinan Arman alias AP terbentuk oleh pilihan-pilihan bacaannya, kecenderungan filsafatnya, teman pergaulannya yang kemudian berpuncak pada indoktrinasi oleh komplotan Dr Azahari. Arman, meski tumbuh dari lingkungan yang jauh dari anasir-anasir radikal-ekstrem teroris, namun ia menjadi anak yatim lingkungannya.
Data para pelaku teror di Tanah Air, baik yang telah mati, ditangkap maupun yang masih buron, menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang-orang yang memiliki kedalaman ilmu agama. Bahkan dalam batas-batas tertentu sangat awam. Fakta inilah yang membuat mereka pendek akal dalam memahami ajaran Islam. Teks-teks Alqur’an dan hadis, terutama tentang jihad, ditafsirkan secara harfiah sehingga mereka jatuh pada otoritarianisme teks. Konsekuensinya, tafsir-tafsir di luar kelompoknya harus dimusnahkan. Mereka telah menempatkan dirinya di tempat Tuhan yang memutuskan dan menindak kelompok-kelompok yang dianggap salah. Dalam persepsi mereka, karena itu, agama selalu mengandung imajinasi yang membuat pelbagai nilai jadi mutlak. Agama dengan itu juga memproyeksikan apa yang oleh Karren Amstron disebut ‘peperangan kosmis’.
Anasir-anasir seperti ini sulit tumbuh di lembaga Pendikan Tinggi Islam. Karena itu, Arman alias AP adalah sebuah anomali dan bukan produk STAIN atau pesantren. Seperti para pelaku lainnya, Arman adalah korban ideologi kaum teroris yang bergerak di bawah tanah. Selanjutnya, ideologi kaum teroris adalah artikulasi dari ketidakadilan global yang sisa-sisanya masih menjadi push factor bagi berkembangnya ideologi ini.
Untuk membendung meluasnya ideologi dan paham-paham sesat tentang jihad, peran IAIN/STAIN justru sangat sentral. Kasus Arman—dan juga para pelaku bom bunuh diri yang lainnya—telah membuka mata kita bahwa ideologi kaum teroris telah menyusup di tengah-tengah lingkungan kita. Bahkan Lembaga Pendidikan Tinggi Islam yang notabene menjadi agen pencerahan peradaban tidak steril dari infiltrasi ideologi tersebut.
Surakarta, 30 Nopember 2005

Sekali Lagi Dialog Peradaban


Oleh: Mudhofir Abdullah*



Dalam artikel tanggapan Sdr Nur Alam (NA) Solusi konstruktif penistaan Nabi Muhammad (SOLOPOS, 16/02) tertangkap kesan bahwa dialog peradaban sudah tertutup. “Tema dialog peradaban yang seperti apa lagi yang mesti didialogkan?” tulisnya sengit. Ia mengusulkan agar para pelaku penistaan terhadap Nabi Muhammad SAW dihukum mati. Ia juga “berhipotesis” bahwa jika sistem khilafah islamiah ditegakkan seluruh persoalan global (hubungan Muslim-non Muslim, krisis ekologi, pelanggaran HAM, korupsi, kemiskinan, dan lain-lainnya) dapat diselesaikan. Inilah yang disebutnya sebagai solusi konstruktif Islam. Begitu sederhanakah?
Tanggapan ini bukan dimaksudkan untuk membela diri atas artikel saya terdahulu. Tetapi lebih didorong oleh keinginan bersama untuk mempromosikan Islam sebagai agama damai dan agama yang sarat dengan nilai-nilai kesantunan dan keadaban. Kita harus berjuang menepis citra Islam yang negatif sebagaimana digambarkan “Barat”. Di sinilah saya berbeda metode dengan NA. Tulisan berikut ingin menyajikan perspektif dan sudut pandang lain yang lebih lapang.

Satu tarikan nafas
Saya satu tarikan nafas dengan NA bahwa reaksi dunia Islam terjadi karena ada aksi, yakni penghinaan berkali-kali atas Islam, Alqur’an dan Nabi Muhammad SAW. Sesungguhnya, bukan hanya dalam sejarah modern saja ketegangan “Islam” dan “Barat” terjadi. Tetapi juga terjadi dalam sejarah masa lalu yang tercermin dalam Perang Salib dan kolonialisme atas bangsa-bangsa Muslim. Dan bekas-bekasnya kini sebagian masih terlihat dalam sejarah modern berupa karya-karya bernada permusuhan.
Di sisi lain, pembantaian etnis Muslim Bosnia-Herzegovina tahun 1990-an oleh Serbia, aksi militer AS atas Afganistan dan Irak tahun 2003, serta konflik Israel-Palestina hingga sekarang masih menjadi amunisi kemarahan dunia Islam. Saya setuju bahwa Barat yang mengusung nilai-nilai HAM, sejatinya, tak sepenuhnya konsisten dan bahkan menurut Michael Akehurst dalam A Modern Introduction to International Law (1987: 21) menjadi pelanggar HAM paling produktif dalam sejarah modern. Dari sisi ini kita sangat geram kepada “Barat”. Tetapi haruskah kita menutup pintu dialog dan berada dalam kebuntuan yang menegangkan?

Isu-isu dialog
“Islam” dan “Barat” sengaja saya tulis dalam tanda petik. Mengapa? Karena Islam bukanlah entitas tunggal sebagaimana Barat juga tidak tunggal. Dalam Islam ada banyak varian dari segi ideologi, pemikiran, hukum dan adat-istiadat. Demikian pula Barat. Karena itu, dialog peradaban bertujuan untuk mendekatkan taraf saling pemahaman yang sama di antara kelompok-kelompok dalam peradaban yang berbeda.
Sikap Islam tidak tunggal dalam melakukan reaksi. Ada yang menempuh cara Osamah bin Laden dan Azahari berikut komplotannya, tetapi juga ada yang lebih santun melalui cara-cara diplomasi dan dialog peradaban. Demikian pula Barat. Dalam kasus aksi militer AS atas Irak, misalnya, Barat (Jerman dan Perancis) justru sangat menentang. Demikian pula masyarakat AS juga menolak aksi militer yang digerakkan oleh ambisi pemerintahan Bush atas Afganistan dan Irak. Kasus serupa juga terjadi pada Karikatur Muhammad SAW. Pemerintah dan masyarakat (agama) Barat serta AS menentang penerbitan tersebut.
Fakta ini menunjukkan bahwa masih banyak hal yang bisa didialogkan. Islam dan Barat harus tetap melanjutkan proyek-proyek kemanusiaan universal. Program bantuan dari negara-negara kaya (AS dan Barat) untuk negara-negara miskin (yang sebagian besarnya bangsa Muslim) juga harus tetap dilanjutkan. Kini kian disadari bahwa krisis ekologi, kemiskinan, ancaman nuklir dan lain-lain menuntut kerja sama global. Terlepas dari agama, bangsa, dan bahasa umat sejagat disatukan oleh isu dan kepentingan yang sama tersebut. Memang, tidak ada yang bisa menjamin bahwa kasus serupa (pelecehan Nabi, perang, dan lain-lain) tidak terjadi lagi. Tetapi, dialog antar-peradaban dapat mengurangi ketegangan dan menjadi cara terbaik bagi penemuan win-win solution.

Sistem khilafah?
Saudara NA menyimpulkan sebuah hadis riwayat Abu Dawud bahwa hukuman bagi penista Nabi Muhammad SAW adalah hukuman mati. Ia menyatakan bahwa pelaksana hukuman adalah seorang khalifah dalam sistem khilafah islamiyah.
Saya setuju penista dan penghina Nabi Muhammad SAW dihukum berat. Tetapi kita tidak sedang bicara hukum Islam dan apalagi khilafah Islam. Teks-teks Alqur’an dan Sunnah (baca: Syari’ah) tidak serta merta secara langsung bisa diaplikasikan. Di samping mengandung aspek hukum yang masih perlu ditafsirkan, teks-teks Syari’ah juga banyak yang hanya mengandung prinsip-prinsip moral saja. Syari’ah seperti didefinisikan al-Syathibi mencakup “tindak-tanduk hati maupun tindakan-tindakan lahiriah yang nyata terlihat” (Al-Muwafaqat, 1302: 16). Jadi, suatu teks Syari’ah menjadi ­applicable setelah melalui serangkaian proses legislasi nasional dalam sebuah negara (Islam). Dalam banyak kasus, teks-teks Syari’ah harus ditafsirkan terlebih dahulu dan karena itu sering bersifat subyektif dan tak jarang dikompilasi lagi menjadi sebuah Qanûn (Sistem Hukum yang sudah mengadopsi hukum lain hasil ijtihad).
Problem lainnya, masih adakah kini khilafah islamiyah yang oleh NA bisa menjadi pelaksana hukuman mati dan mampu menyelesaikan krisis-krisis global? Sistem khilafah terpimpin (dengan empat Khulafa al-Rasyidun) telah berakhir sejak terbunuhnya Ali bin Abi Thalib (660 M), yang kemudian digantikan sistem monarki dengan sedikitnya tujuh dinasti (Umayah, ‘Abbasiyah, Umayah Spanyol, Fatimiyah Mesir, Usmani Turki, Syafawi Iran, dan Moghul India). Sejak Khilafah Turki Usmani runtuh pada tahun 1925, tidak ada lagi sistem khilafah (yang dalam Alqur’an dengan berbagai kata turunannya disebut 22 kali). Dunia berubah menjadi suatu nation-state dengan ciri dan sifat yang sangat berbeda.
Ini berarti hukum Islam (baik pidana dan perdata), dalam pengertian yang sudah ditafsirkan, diberlakukan dalam kerangka nation-state (seperti di Saudi Arabia). Harus disebutkan bahwa negara-negara Islam meski mengaku berdasarkan Syari’ah, namun memiliki konsep-konsep hukum yang berbeda. Sementara bangsa-bangsa Muslim (seperti Indonesia) hanya secara terbatas menerapkan hukum Islam dalam hukum keluarga (meliputi pernikahan, tolak, rujuk, kewarisan).
Apa artinya? Jarum sejarah tidak bisa diputar kembali. Ketimbang kita berfikir mundur tentang khilafah, mengapa kita tidak mengembangkan kerangka-kerangka dialog peradaban? Ketimbang kita berhipotesis bahwa sistem khilafah dapat menyelesaikan segala krisis global, lebih baik kita meningkatkan solidaritas seluruh bangsa. Alqur’an mengisyaratkan hal ini dalam (Al-Hujurat [49]: 13).
Tidak ada suatu sistem dunia pun atau institusi yang dapat menyelesaikan sendiri masalahnya. Kita hidup dalam suatu era yang dicirikan oleh globalisasi yang melahirkan suatu struktur di mana pelbagai negara-bangsa (nation-state) saling tergantung dan berinteraksi satu sama lain. Inilah yang oleh seorang sosiolog Harvard, Theda Scockpol (1979: 23), disebutnya sebagai suatu “waktu dunia” (“world time”).
Kita diingatkan, ketika tragedi gempa disertai tsunami mengguncang Aceh dan Nias, terlepas dari sekat-sekat agama, bangsa dan bahasa, dunia bahu membahu memberi bantuan. Solidaritas global membukakan mata hati manusia akan arti sebuah makna persaudaraan. Karena itu, kasus penghinaan Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh oknum suatu bangsa tetap kita kutuk keras, tetapi tetap dengan cara-cara bijak dan jangan sampai merusak hubungan antar bangsa. Bukankah Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak umat manusia?
Surakarta, 21 Februari 2006

Senin, 27 April 2009

Memaknai Cinta (Bagian 1)

Novel karya Mudhofir Abdullah
(Kolomnis, Candidate Doctor UIN Syahid Jakarta, dan Direktur Yayasan Azhary Jakarta)

Pagi itu langit cerah. Tidak tampak awan besar menggantung. Hanya di sana-sini nampak beberapa awan beronggok. Juga nampak awan tipis saling berkejaran. Angin bertiup lembut menerpa dedaunan pohon yang berdiri kokoh di sepanjang halaman kampus. Nampak daun-daun kering berserakan. Sebagiannya terinjak oleh lalu lalang para mahasiswa dan remuk. Sebagiannya terbang rendah terbawa tiupan angin spoi-spoi.
Angin itu juga membawa terbang debu-debu tipis yang merentang di sepanjang halaman kampus. Debu-debu itu terinjak kaki-kaki manusia, namun ia mampu terbang tinggi bila ditiup angin. Bahkan amat tinggi melampaui gedung-gedung, pohon-pohon, dan menara-menara masjid. Ya, debu itu meskipun tempatnya rendah dan nampak hina, ia mengajarkan kearifan: “Manusia betapa pun hinannya tak boleh disakiti, sebab boleh jadi ia kelak melampaui orang-orang yang menyakiti”.
Sementara itu, terlihat di pinggir jalan dekat kampus mahasiswa-mahasiswi bergerombol diiringi deru motor dan mobil yang lalu-lalang. Kesibukan pejalan kaki, pedagang warung makan, jasa fotokopi, dan warnet ikut menggoreskan lanskap suasana cemas yang menghantui hati Husen.
Dari kerumunan itu, terlihat mahasiswi cantik dan anggun berjilbab tengah bertransaksi. Mahasiswi itu adalah Rahma yang menenteng tas kulit berwarna gelap sedang membeli koran di seberang jalan. Dengan uang sakunya, Rahma sering membeli koran untuk menambah wawasannya. Ia tidak berlangganan agar setiap hari bisa gonta-ganti koran. Koran Kompas, Republika, Jawa Pos, The Jakarta Post, dan majalah Tempo, sering menjadi santapannya.
Dari jarak 40 meter tempat Husen duduk menunggu di serambi masjid kampus, Rahma nampak begitu anggun memesona. Jilbab berwarna cerah dengan paduan warna baju hijau menambah keanggunannya. Husen bergetar saat memperhatikan Rahma berjalan menuju ke arahnya. Napasnya tak beraturan mengimbangi detak jantung yang kian kencang. Husen sedang menunggu jawaban Rahma tentang SMS yang dikirimkan kepadanya. SMS itu bukan SMS sembarangan. Ia adalah kata cinta yang dia tulis dengan amat berat dan penuh spekulasi. “Adakah secercah harapan”, kata Husen dalam hati sembari menanti Rahma yang mulai mendekat ke arahnya.
Setelah Rahma hampir sampai, Husen berdiri dan mengucapkan salam. “Assalamu’alaikum, di sini saja Rahma. Tempatnya agak silir tidak panas”, sapa Husen menyambut kedatangan Rahma. Rahma mengangguk menuju arah yang diminta Husen. Tetapi Rahma tetap diam. Dia menunggu apa yang akan dikatakan Husen. Dia sudah tahu bahwa Husen memanggilnya untuk membicarakan soal SMS yang dikirim semalam saat dia belajar dan membaca buku. Setelah berbasa-basi secukupnya, dengan harap-harap cemas akhirnya Husen mengulangi apa yang telah ditulisnya dalam SMS itu. “Halo Rahma, mengapa kamu tak menjawab. Aku cinta padamu”, rayu Husen setengah cemas. Sambil membolak-balik koran, Rahma menjawab lembut, “Husen tolong mengerti, saya belum terpikirkan tentang itu. Cinta terlalu sakral untuk aku miliki. Sekarang aku sedang konsentrasi belajar. Kita bersahabat saja. Ini lebih abadi ketimbang cinta yang tidak dipikir matang-matang”.
Namun Husen tak puas dengan jawaban Rahma. Jawaban tersebut bagi Husen mengambang dan mencurigakan. “Aku harus bagaimana dan siapa sebenarnya pilihan Rahma”, tanya Husen dalam hati dengan nada curiga. Husen sebenarnya ingin minta penjelasan tentang alasan apa yang membuat Rahma tetap bersikukuh untuk berkata tidak. Tetapi tak berani. Ia mencoba sekali lagi, juga tak berhasil. Akhirnya dengan nyali nekad Husen berkata, “Rahma mengapa kamu keras kepala. Mengapa kamu membiarkan hubungan kita tak berkepastian. Tolong Rahma, jawab”.
Rahma diam tak melayani kekesalan Husen. Husen dinilai Rahma berlebihan dalam berteman. Rahma tak suka laki-laki seperti dia. Rahma lebih menyukai tipe lelaki yang kalem, sabar, yang di sorot matanya ada getar-getar kematangan dan kearifan. Rahma berfikir mengapa Husen terlalu tergesa-gesa padahal baru kenal seminggu yang lalu. Mengapa jauh-jauh dari kosnya di dekat kampus UNS menuju UMS hanya untuk mengulangi pernyataan yang sama. “Ini pekerjaan sia-sia”, pikir Rahma dalam hati.
Di mata Rahma, Husen tak lebih sebagai teman biasa. Husen, sebenarnya, laki-laki baik. Tetapi, dia labil dan kekanak-kanakan. Husen belum mampu membedakan antara teman dan kekasih. Teman dan kekasih, bagi Husen, itu setipis ujung rambut. Tak ada beda. Maklum Husen tak punya visi tentang arti sebuah cinta. Dia sering gonta-ganti pacar. Pagi tahu, sore tempe. Dengan wajahnya yang tampan dan kaya, dia bisa melakukan apa saja. Husen tak memiliki kemampuan untuk menggunakan pilihan-pilihan moralnya. Sebuah anugerah Allah yang amat berharga dan dengannya manusia bisa naik ke derajat malaikat dan bahkan mampu melampauinya.
Namun bagi Rahma, teman dan kekasih sangatlah beda. Teman adalah sahabat yang memiliki batas-batasnya sendiri. Sedang kekasih adalah teman spesial yang di dalamnya ada pengorbanan tertentu. Teman adalah tahap awal menuju kekasih. Sementara kekasih adalah tahap berikutnya yang sangat mungkin berlanjut ke pernikahan. Di titik inilah perbedaan persepsi terjadi antara Rahma dan Husen.
“Rahma aku mau bicara”, pinta Husen suatu kali. “Rahma aku minta pengertianmu, sungguh”, lanjut Husen. “Boleh, kita cari tempat di serambi masjid ya”, jawab Rahma dengan penuh arif. Husen lega dan berjalan menuju serambi mesjid di dekat kampus. Rahma punya kebiasaan untuk tidak berduaan di tempat-tempat sepi dengan laki-laki bukan muhrimnya. Rahma sadar bahwa kehormatan wanita adalah segala-galanya. Salah satu menjaga kehormatan adalah menghindari hal-hal yang tidak pantas dilakukan seperti berduaan di tempat sepi.
“Apa yang harus kita bicarakan Husen”, kata Rahma berwibawa. Kali ini jantung Husen berdegub keras. Wajah Rahma yang cantik dan penuh wibawa membuat Husen merasa runtuh di hadapannya. Ya runtuh seperti runtuhnya pohon tertimpa angin topan. Rahma adalah seorang mahasiswi dengan segudang prestasi. Banyak lelaki yang ingin mendekatinya. Tetapi, Rahma tetap cuek dan biasa-biasa sehingga teman-teman laki-lakinya satu persatu mundur. Hanya Husen yang bandel dan selalu mengejarnya. Kepercayaan diri Husen terlalu tinggi. Mungkin karena dia orang kaya dan memiliki wajah tampan.
“Apa ya”, jawab Husen gugup. “Saya mau tanya bagaimana menurutmu pacaran dalam Islam”, tanya Husen ragu. “Pacaran seperti apa?”, tanya Rahma kritis. “Kita perlu terlebih dahulu mendefinisikan makna pacaran”, lanjut Rahma meyakinkan. “Islam itu selalu melihat aspek maslahat dan madharatnya”, lanjut Rahma. “Maksudku pacaran kaya remaja sekarang. Jalan-jalan ke mal-mal, nonton filem bareng, boncengan, dan…”, Husen tak melanjutkan. “Berdua-duaan di tempat sepi”, sergap Rahma dengan nada agak tinggi. “Kalau pacaran seperti ini maka diharamkan”, kata Rahma. “Madharatnya lebih banyak ketimbang maslahatnya. Islam dan agama apa pun melarang pacaran yang mengundang resiko seperti hamil di luar nikah, aborsi, dan lain-lain”, lanjut Rahma.
“Ya itulah sebabnya saya ingin serius dengan kamu agar terhindar dari asusila”, jawab Husen. Rahma terperanjat dengan keluguan Husen. Dengan muka agak merah Rahma mencoba tenang dan menjawab, “Kita masih muda Husen. Kita baru saja semester I. Banyak tugas yang harus kita selesaikan. Banyak hal agung yang harus kita kerjakan”, kata Rahma dewasa. “Saya punya cita-cita tinggi dan untuk meraihnya diperlukan kesungguhan luar biasa. Itulah sebabnya saya selalu menghindari pertemanan yang menjurus ke arah serius. Maafkan Husen aku tak mau”, lanjut Rahma dengan perasaan tak enak.
Kali ini Husen kena batunya. Untung suara adzan Dzuhur mengalun. Husen terselamatkan dari rasa malu. Dengan hati tertahan Husen berdiri dan melangkah gontai ke arah tempat wudhuk. Rahma pun berdiri dan menuju tempat wudhuk wanita di sisi sebelah kanan. Rahma merasa tak enak menolak cinta Husen untuk kedua kalinya. Hati kecilnya tak kuat menyakiti temannya sendiri. Tapi inilah jawaban yang harus diungkapkan dengan penuh keberanian. Setelah usai salat, Rahma pergi menyelinap di kerumunan jamaah lain. Sementara Husen duduk dengan pikiran kosong setengah putus asa sebelum akhirnya pulang dengan sepeda motornya.
Husen pun kini tambah percaya bahwa Rahma adalah gadis kokoh yang memiliki pertahanan kuat. Garis-garis keimanan Rahma membuat Husen harus belajar tentang kehidupan, tentang tantangan, dan tentang cara menaklukkan tantangan itu. Husen juga harus belajar bahwa kehidupan tak selamanya mulus. Kehidupan selalu saja mengalami pasang surut. Kadang riuh dan kadang rendah. Tetapi semua itu mengajarkan kearifan; mengajarkan keagungan; dan mendorong gerak-gerak kebangkitan.
Bagi Rahma, inilah pengalaman pertama menolak cinta. Pembawaannya yang selalu cuek pada laki-laki membuat dia tidak mudah diganggu. Tetapi Husen terlalu percaya diri dan mencoba masuk ke jantung cinta Rahma. Bukan maksud Rahma untuk bersikap munafik. Bukan pula maksud Rahma untuk mengesampingkan cinta sebagai sebuah anugerah Allah yang agung. Tetapi, bagi Rahma cinta adalah sakral dan terlalu agung untuk diteledorkan. Cinta bukan untuk dibuang, tetapi dirawat dengan sebaik-baiknya sehingga melahirkan kebaikan-kebaikan. Persepsi inilah yang dipegang Rahma. Tapi, Husen belum bisa memahami definisi cinta yang dianut Rahma. Husen memahami cinta secara hitam dan putih. Cinta bagi Husen adalah sebagaimana yang diartikan kalangan remaja sekarang yang ujung-ujungnya pergaulan bebas dan seks bebas.
Pandangan Husen tentang cinta sangat liberal. Sementara pandangan Rahma sangat konservatif. Pertarungan antara dua pandangan ini berakhir dengan penolakan cinta Rahma pada Husen. Rahma pun menyadari bahwa meski memiliki wawasan luas tentang kemodernan, ia tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama. Bagi Rahma, modern tidak harus bebas tanpa batas. Modern adalah tantangan untuk tetap kokoh di atas nilai-nilai kepatutan agama dan kesopanan. Menjadi modern, karena itu, bukan berarti lebur menjadi satu tanpa identitas; tanpa ciri khas; dan tanpa pegangan. Menjadi modern justru harus mempertahankan nilai-nilai yang masih baik dan menggali secara terus-menerus nilai-nilai yang lebih baik. Inilah paham cinta yang dianut Rahma.
Dengan bacaan-bacaannya yang luas, Rahma telah melihat bahwa modernitas itu bersisi ganda. Baik dan buruk. Segi-segi yang baik dari modernitas harus dimanfaatkan untuk pencerahan hati dan akal. Sementara segi-segi yang buruk harus dijauhi dan bila mungkin harus diatasi. Bacaan-bacaan Rahma atas karya-karya sosiologi, psikologi, dan teori-teori sosial membuatnya memiliki kemampuan memilih antara yang baik dan buruk, termasuk dalam hal pergaulan. Pengetahuan agama yang digali lewat kisah-kisah agung para Nabi dan para sahabatnya juga telah menjadi roti makanan. Di sini Rahma jauh lebih unggul dibanding Husen.
Tak heran, jika di rak buku milik Rahma terdapat buku-buku serius. Buku-buku itu terdiri atas karya-karya besar dunia yang menjadi Grand Theory atau metanarasi seperti Max Weber, Ibnu Khaldun, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Talcott Parson, Robert N. Bellah, Francis Fukuyama, dan buku-buku lainnya. Memang tidak seluruh buku itu bisa dipahaminya, namun setiap kali ia menulis atau diskusi dengan teman-temannya sering merujuk pada buku-buku itu.
***
(Novel ini akan dimuat bersambung...), no. kontak 081586561136 email: mudhofir1527@gmail.com

Sabtu, 25 April 2009

Keyword, Religion and Politics of Disaster

By: Mudhofir Abdullah
Lecturer at State Islamic Religion Higher School (STAIN) Surakarta
Flood in Jakarta
Response after the flood disaster
Socio-economy-politics-culture resources in facing the disaster
The definition of politics of disaster
Suprastructure level
Main concept of mitigation
Pioneering and leadershipResponsibility of government
Prohibition of big number of victims
The role of religion
Environmental damage
Human morality and human behavior
Mary Evelyn Tucker, ecology expert and environmental activist, Buckel University, Pennsylvania
The need of ethics and values
Indonesia as the religious nation
Islam, Christian, Catholic, Hind, Budha Potential power
Disaster is not God punishment
January 24, 2008
Friday 16 February 2007

Islam dan Konservasi Alam

Oleh: Mudhofir Abdullah
(Candidate Doctor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Bagai bola salju, isu-isu tentang lingkungan terus mendapatkan perhatian semakin luas. Nobel Perdamaian tahun ini pun dianugerahkan pada sosok pemerhati lingkungan, yakni Albert Gore. Agama-agama besar dunia sejak Deklarasi Stockholm pada Juni 1972 juga diarahkan untuk membantu menopang kesadaran pelestarian lingkungan melalui eksplorasi ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran agama dan spiritual dianggap mampu memperkuat kesadaran umat manusia untuk mengimplementasikan tugas-tugas perlindungan lingkungan, juga mampu memperkaya konsep-konsep hukum tentang kesinambungan ekologi.Harus kita sadari bahwa kondisi lingkungan global yang kian memburuk dan kritis tidak cukup hanya diatasi dengan seperangkat peraturan hukum dan undang-undang sekuler, tetapi juga perlu kesadaran otentik dari relung-relung batin setiap individu yang wujudnya adalah nilai-nilai moral dan agama.Nilai-nilai ini dipercaya memiliki kemampuan tinggi dalam memengaruhi world-view pemeluknya dan menggerakkan dengan amat kuat perilaku-perilaku mereka dalam kehidupan. Karena itu, dalam konteks umat beragama, kepedulian terhadap lingkungan amat tergantung pada bagaimana aspek-aspek ajaran agama mengenai lingkungan disajikan dan dieksplorasi oleh para elitenya dengan bahasa serta idiom-idiom modern dan ekologis.Di era modern, ketika kehidupan manusia dan masalah-masalahnya begitu kompleks, peran agama sangat dibutuhkan untuk memberi topangan nilai. Agama tidak lagi hanya berkutat pada masalah-masalah spiritual dan eskatologis, tetapi juga harus beranjak ke aspek-aspek riil masyarakat pemeluknya.Caranya adalah dengan menanamkan nilai-nilai moral sehingga manusia memiliki kemampuan tinggi untuk mengatasi masalah-masalahnya dengan tanpa merusak harmoni dengan lingkungannya. Dengan nilai-nilai moral agama, manusia memiliki kecakapan mengatasi dan ketajaman membaca tanda-tanda zaman berikut kemampuan menciptakan seperangkat nilai untuk melestarikannya seperti hukum dan sejumlah peraturan.Urgensi fikih lingkungan Dalam konteks hukum Islam, pelestarian lingkungan, dan tanggung jawab manusia terhadap alam banyak dibicarakan. Hanya, dalam pelbagai tafsir dan fikih, isu-isu lingkungan hanya disinggung dalam konteks generik dan belum spesifik sebagai suatu ketentuan hukum yang memiliki kekuatan menggetarkan. Fikih-fikih klasik telah menyebut isu-isu tersebut dalam beberapa bab yang terpisah dan tidak menjadikannya buku khusus. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini.Namun, kini para intelektual Islam telah memperluas ruang lingkup kajiannya pada isu-isu modern tersebut dalam karya-karya mereka. Ini menandai adanya sense of future dari para ulama untuk memperbesar kapasitas peran hukum Islam dalam kehidupan modern. Islam disadari harus mampu berbicara di panggung dunia dalam isu-isu kemanusiaan dan lingkungan, sehingga perannya tidak lagi terbatas dan eksklusif. Kesadaran untuk melakukan transformasi fikih Islam tidak lahir dari luar, tetapi tumbuh secara organik dari dalam berupa pesan-pesan universal syariah yang selama ini masih tertunda implementasinya dan belum dieksplorasi secara optimal.Karena itu, kebutuhan untuk memperluas kapasitas hukum Islam dalam masalah-masalah modern bukanlah suatu hal yang asing dan aneh. Maksimalisasi peran hukum Islam bisa dilakukan tanpa hambatan teologis. Bahkan ia merupakan bagian integral dari sejarah perkembangan hukum Islam yang menyertai peradaban Muslim. Upaya mengembangkan fiqh al bi'ah (fikih lingkungan) dan merumuskannya ke dalam kerangka-kerangka yang lebih sistematik merupakan sebuah keniscayaan.Pengembangan fikih lingkungan kini bisa menjadi suatu pilihan penting di tengah krisis-krisis ekologis secara sistematis oleh keserakahan manusia dan kecerobohan penggunaan teknologi. Islam sebagai agama yang secara organik memerhatikan manusia dan lingkungannya memiliki potensi amat besar untuk memproteksi bumi. Dalam Alquran sendiri kata 'bumi' (ardh) disebut sebanyak 485 kali dengan arti dan konteks yang beragam. Bahkan kata syariah yang sering dipadankan dengan hukum Islam memiliki arti 'sumber air' di samping bermakna 'jalan'. Dalam konteks perlindungan lingkungan, makna syariah bisa berarti sumber kehidupan yang mencakup nilai-nilai etik dan hukum.Komponen-komponen lain di bumi dan lingkungan juga banyak disebutkan dalam Alquran dan hadis. Sebagai contoh, manusia sebagai pusat lingkungan yang disebut sebagai khalifah terdapat dalam QS 2:30; segala yang di langit dan di bumi ditundukkan oleh Allah kepada manusia QS 45:13; dan sebagainya. Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di bumi.Meski ayat-ayat tersebut lebih bersifat antroposentris (manusia sebagai penguasa alam), namun ada perintah untuk mengelolanya dengan segenap pertanggungjawaban. Konsep khalifah sebagaimana disebut dalam QS 2:30 bermakna responsibility. Makna sebagai wakil Tuhan di muka bumi hanya akan berlaku jika manusia mampu melestarikan bumi sehingga seluruh peribadatan dan amal sosialnya dapat dengan tenang ditunaikan. Ini masuk akal karena suatu ibadah atau pengabdian kepada Allah dan manusia tidak dapat dilakukan jika lingkungan buruk dan atau rusak.Dalam kerangka pemikiran tersebut, maka melindungi dan merawat lingkungan merupakan suatu kewajiban setiap Muslim dan bahkan menjadi tujuan pertama syariah. Mustafa Abu Sway (1998) menyatakan bahwa menjaga lingkungan merupakan tujuan tertinggi. Gagasan Mustafa Abu Sway tersebut dapat dianggap sebagai suatu terobosan ijtihad tentang pelestarian lingkungan berdasarkan tujuan syariah.Muatan-muatan fikih klasik yang membahas tema-tema lingkungan secara terpisah dan abstrak perlu diberi bobot-bobot ekologis. Seperti dapat dibaca, dalam fikih klasik ada bab-bab seperti al taharah (bersuci), al shaid (berburu), ihya' al mawat (memanfaatkan tanah mati), al 'at`imah (hukum tentang makanan), al ssyribah (hukum tentang minuman), dan lain-lain. Tema-tema ini merupakan bagian dari kajian lingkungan. Tema-tema ini bisa diperluas dengan tema-tema lain yang terkait dan selanjutnya dinaikkan menjadi suatu hukum lingkungan Islam atau fiqh al bi'ah.Keterlibatan sejumlah negara Islam dalam sejumlah program aksi global tentang perlindungan lingkungan membuat Islam harus memainkan peran penting melalui kontribusi-kontribusi pemikirannya. Fikih lingkungan bisa menjadi pintu masuk ke arah penguatan kapasitas perannya itu. Bukan saja untuk memperbaiki kualitas perlindungan lingkungan di negara-negara Muslim itu sendiri, fikih lingkungan juga untuk menopang gerakan global dalam masalah pembangunan berkesinambungan. Dalam arti inilah, fikih lingkungan bisa menjadi milestone bagi penguatan kapasitas hukum Islam dalam kehidupan modern.
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, Jumat 2 Nopember 2007

Spiritualitas Dalam UNCCC

Oleh : Mudhofir Abdullah
Dosen STAIN Surakarta, Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bumi yang kita huni, keadaannya, meminjam Seyyed Hossein Nasr (1968), kini sangat terluka dan berdarah-darah. Peradaban industrial selama berabad-abad telah menyebabkan bumi menjadi anak yatim yang terlantar. Ia kini kian rusak oleh pandangan sekuler dan hedonistik manusia tentang alam yang terus mengkhutbahi untuk mengeksploitasinya. Perubahan-perubahan iklim pun terjadi begitu cepat dan tak terkendali yang menyebabkan bumi tak ramah lagi pada penghuninya. Tak heran jika bencana-bencana kerap datang mengancam.
Bumi yang sedang kritis inilah yang menjadi tema pokok perbincangan dalam Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim (UNCCC atau United Nation Climate Change Conference) di Nusa Dua Bali yang dijadwalkan berakhir hari ini. Acara ini dihadiri setidaknya 10 ribu peserta (termasuk para pemantau lingkungan) dari 185 negara. Kehadiran mereka di Bali sangat menentukan detik-detik yang sangat penting bagi masa depan kelangansungan bumi dengan keseluruhan eksosistem yang menghuninya.
Peristiwa profetikHajatan akbar ini, sungguh, merupakan peristiwa agung dan profetik yang merefleksikan kepedulian global, terlepas dari sekat-sekat agama, bangsa, bahasa, dan ras. Perbedaan itu disatukan oleh kepentingan bersama untuk masa depan kelangsungan kehidupan di muka bumi yang kian tua renta ini. Tak ada pilihan lain bagi manusia selain melakukan tindakan preventif untuk menghentikan atau memperlambat perubahan iklim yang terus berlangsung. Kesadaran bersama ini hendak mencari konsensus-konsensus baru tentang respons dan tindakan yang harus dilakukan terhadap nasib bumi yang merupakan pusaka bersama.
Konferensi Perubahan Iklim ini merefleksikan sebuah kesadaran profetik. Artinya, ia didorong bukan saja oleh kondisi objektif bumi yang kian kritis, tetapi juga didorong oleh naluri kenabian yang tergali dari renungan-renungan spiritual. Mereka tidak egois untuk menghabiskan sumber-sumber kehidupan bumi hari ini, tetapi berpikir untuk kelangsungan generasi yang akan datang. Mereka memikirkan akibat-akibat kerusakan bumi bila pandangan-pandangan sekuler mereka tetap dipertahankan. Di sini, tampaknya, manusia masih memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan-pilihan moralnya. Ini adalah sebuah anugerah Tuhan yang terbesar dan tak pernah dimiliki makhluk lainnya.
Krisis bumi yang kian parah dengan gejala-gejalanya yang telah menimpa banyak korban, telah mendorong manusia untuk melihat ke dalam. Melihat ke kesadaran Ilahiah yang dengannya pilihan-pilihan moral terdorong untuk berharmoni dengan alam. Kearifan lokal, kearifan spiritual, dan kearifan agama tengah dicari lagi untuk keperluan menopang pandangan sakral terhadap alam itu. Khazanah kearifan yang dimiliki banyak agama dan budaya dianggap mampu menopang tugas-tugas profetik untuk merawat bumi dan mengerem perubahan iklim yang ekstrem. Khazanah ini harus digali dan di saat yang sama menjadi paradigma baru manusia dalam memperlakukan bumi serta alam.
Ini perlu menjadi kesadaran bersama karena menurut Mary Evelyn Tucker (1994) tidak ada satu tradisi agama atau perspektif folosofis pun yang mempunyai solusi ideal bagi krisis-krisis lingkungan. Menyadari hal ini, UNCCC di Bali mengisyaratkan kehendak tersebut. Mereka bahu-membahu menemukan konsep-konsep utama untuk menyelamatkan bumi dari krisis-krisis sistematik yang berkelanjutan. Mereka sejenak melupakan konflik dan perbedaan demi merengkuh tujuan jangka panjang bersama.
Bumi adalah pusaka bersama. Tempat manusia lahir, hidup, dan mati. Sebagai pusaka bersama umat manusia, tak seorang pun berhak memilikinya dalam arti mutlak. Manusia hanyalah entitas yang hanya dipinjami untuk memanfaatkan dan mengelolannya. Karena itu, setiap pemanfaatan bumi di pundaknya melekat tanggung jawab perawatannya. Kata 'pusaka bersama' juga mensyaratkan manusia berpikir global dan bertindak lokal. Apa yang diperbuatnya harus dipertimbangkan apakah ia memiliki dampak-dampak buruk bagi yang lain. Tindakan hari ini harus memerhatikan akibat-akibat di kemudian hari, yakni bagi kelangsungan generasi yang akan datang. Jelas bahwa pertimbangan-pertimbangan semacam ini adalah suatu pilihan moral amat agung. Kita diajarkan kearifan-kearifan tinggi dari semangat moral sebagaimana tercermin dari 'jiwa spiritual' UNCCC itu.
Bersikap arif terhadap bumi bukan berarti membiarkan ia tak berguna. Meng-arifi bumi terkandung pesan memanfaatkan dengan penuh tanggung jawab merawatnya. Artinya, kita menempatkan posisi manusia secara harmonis dengan alam. Juga mengharuskan manusia mengembangkan penglihatan holistik, meninjau isi alam dalam hubungan saling keterkaitan antara komponen lingkungan dan komponen lainnya. Wawasan interdependensi ini perlu dikembangkan sebagai prakondisi bagi pendekatan pembangunan berwawasan lingkungan.
Menyembuhkan lukaPerubahan paradigma tentang alam diharapkan berdampak pada perubahan cara memperlakukan bumi. Krisis bumi adalah artikulasi dari krisis spiritual. Maka tugas awal dari UNCCC di Bali adalah menyebarkan informasi hasil-hasil keputusannya ke seluas-luasnya masyarakat agar benar-benar mengendap dalam pikiran dan persepsi publik global. Bila perlu dilekatkan dalam setiap doktrin ajaran agama, kepercayaan, dan spiritualitas yang dimiliki bangsa-bangsa. Ini penting karena undang-undang dan hukum sekuler dianggap tidak memadahi lagi untuk memproteksi bumi dari pandangan-pandangan sekuler yang memisahkan alam dari status sakralnya.
Kearifan para pemimpin dunia juga punya peranan sangat penting. Mereka adalah sosok-sosok yang bisa mengubah dunia karena punya kekuatan sumber daya-sumber daya politik dan ekonomi untuk itu. Para aktor dunia ini harus menjadi variabel dalam aksi global penyelamatan bumi. Sejarah bangsa-bangsa, baik yang sudah punah maupun yang masih bertahan, seringkali terkait dengan keputusan seorang pemimpin. Para pemimpin adalah sekelompok elite yang keputusan-keputusannya mempengaruhi perubahan-perubahan dunia, positif maupun destruktif.
Karena itu, Barat, terutama Amerika Serikat, harus mematuhi Protokol Kyoto. Selama ini, AS menolak Protokol Kyoto bersama Australia dari negara maju karena alasan politik dan ekonomi dalam negeri. Keputusan politik AS dan Australia sebagai negara besar tentang konservasi bumi akan sangat mempengaruhi percepatan implementasinya. Australia, di pihak lain, menebarkan kepak-kepak sayap harapan dengan kemenangan Kevin Rudd sebagai Perdana Menteri Baru bagi program konservasi ini. Kevin Rudd menang di antaranya karena mengangkat isu-isu lingkungan dan begitu terpilih dia memang kemudian meratifikasi Protokol Kyoto.
Respons masyarakat dunia tentang perubahan iklim yang kian mengerikan mengharuskan matra-matra politik, ekonomi, agama, dan spiritualitas bersinergi. Kombinasi matra-matra itu akan kian ampuh dalam memproteksi bumi yang sedang sakit parah ini. Harapan untuk sembuh dari luka bumi pun kian menemukan maknanya kembali dengan getar-getar spiritualitas dalam UNCCC itu.
Ikhtisar
- Konferensi tentang Perubahan Iklim di Bali menjadi salah satu bentuk kesadaran profetik manusia sebagai khalifah di muka bumi.- Selain mendayagunakan, manusia juga memiliki tanggung jawab untuk merawat kelestarian dan keseimbangan alam.- Usai konferensi tersebut diharapkan muncul kesadaran baru umat manusia untuk menjaga bumi.
Sumber: Republika Online

Krisis Spiritual Tragedi Situ Gintung

Oleh: Mudhofir Abdullah

Tsunami kecil yang terjadi di pagi buta, Situ Gintung Tangerang menewaskan banyak korban. Tragedi itu mengagetkan dan menyentak tanda tanya kita. Mengapa tanggul di tengah kepadatan penduduk itu jebol dan tidak ada peringatan dini? Mengapa korbannya begitu besar? Siapa yang bertanggung jawab? Pertanyaan ini bukan mencari kambing hitam, tapi ingin mencari tahu mengapa 'tanda-tanda zaman' jebolnya tanggul tidak terdeteksi oleh para pejabat di wilayah itu atau oleh otoritas yang bertanggung jawab.Keberadaan tanggul yang posisinya lebih tinggi dari perkampungan padat adalah sebuah 'ancaman bahaya' yang kasat mata. Ia merupakan bom waktu yang kapan saja bisa menjadi 'malaikat maut' bila diabaikan atau tidak memperoleh perhatian penjagaannya. Apalagi, sudah diketahui sebelumnya bahwa tanggul Situ Gintung itu ada retakan dan pernah diperbaiki.Sikap abai atau sikap meremehkan masalah lingkungan adalah sebuah bencana. Sikap semacam ini memperlihatkan sifat manusia yang merendahkan alam. Merendahkan ciptaan Allah (alam) yang seharusnya disyukuri sebagai mitra kehidupan adalah cermin dari kesombongan manusia yang lebih berorientasi kepada kepentingan diri manusia. Lingkungan alam adalah ayat-ayat (pertanda) Allah yang harus dibaca dan bukan untuk dieksploitasi. Membaca ayat-ayat alam berarti merawat dan menghormatinya seperti merawat dan menghormati diri kita.Bencana Situ Gintung adalah akibat kelalaian kita dalam memperlakukan lingkungan alam itu. Kita tidak bersyukur pada kebaikan-kebaikan lingkungan yang diberikan Allah, tapi malah bersikap kufur atau cover (tertutup) untuk memerhatikannya. Jebolnya Situ Gintung adalah respons alam pada sikap kita yang tak lagi peduli dan bersyukur. Kitab suci agama-agama besar dunia, termasuk Alqur'an, telah memberi peringatan agar memperlakukan alam dengan baik sebagai cara kita bersyukur (QS Al-A'raf [7]: 56). Lingkungan alam adalah mitra kita dalam hidup. Karena itu, kita harus mengakrabinya. Hubungan manusia dengan lingkungan alam adalah hubungan etis dan sakral. Itulah sebabnya relasi itu harus membentuk atau meminjam istilah Sachiko Murata 'keakraban yang berani' yang saling menasihati dan mengingatkan.Tragedi Situ Gintung dan bencana-bencana serupa harus dibaca sebagai retaknya relasi sakral dan etis antara manusia dan lingkungannya. Manusia telah menceraikan relasi suci itu dan memilih watak penaklukan atas lingkungan. Lingkungan bumi yang disebut sebagai gaia atau ibu ( mother ) telah dieksploitasi sehingga meninggalkan derita dan luka. Bencana-bencana itu menyimbolkan ketidaktahanan lingkungan atas penderitaan terus-menerus oleh watak penaklukan manusia melalui aktivitas-aktivitas penebangan hutan, perusakan lingkungan, industrialisasi ngawur dan sikap abai yang menyeluruh atas ayat-ayat Allah.Bencana-bencana juga mencerminkan sebuah krisis spiritual. Sebuah krisis yang mengikis ketajaman manusia dalam 'membaca tanda-tanda zaman'. Krisis spiritual mencaplok 'kesadaran' yang oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai ciptaan pertama. Kesadaran adalah ciptaan pertama yang menentukan perilaku-perilaku positif-konstruktif manusia terhadap ciptaan lainnya. Krisis spiritual melemahkan kesadaran dan krisis kesadaran melemahkan relasi suci manusia dan lingkungannya. Krisis spiritual menandai sebuah konstruksi yang oleh Marx I Wallace disebut sebagai the wounded spirit (spirit yang terluka). Dalam kondisi terluka, sebuah spirit tak lagi mampu merawat dirinya sendiri, apalagi merawat lingkungannya. Adakah kita termasuk bangsa yang sedang mengidap the wounded spirit ?Istilah kearifan lingkungan sangat relevan untuk kondisi bangsa yang terus dilanda bencana. Kearifan yang berasal dari kata 'arif' (Arab) berarti 'orang yang mengetahui'. Atau, arti bebasnya adalah orang yang pandai membaca tanda-tanda zaman. Dalam konteks lingkungan, kearifan memperlihatkan sebuah sikap spiritual yang reflektif, sadar, dan penuh penghormatan. Sikap semacam ini memperkuat basis-basis tindakan dan sikap konservatif terhadap lingkungan. Kearifan lingkungan meminjam ungkapan tradisi deep ecology adalah cermin dari the ecological wisdom by focusing on deep experience, deep questioning, and deep commitment (kearifan lingkungan yang berbasis pada komitmen, pertanyaan, dan pengalaman yang dalam atas lingkungan).Dalam Alquran, kemampuan membaca tanda-tanda zaman pernah dilakukan oleh Nabi Yusuf yang menakwilkan mimpi 'tujuh ekor sapi gemuk memakan tujuh ekor sapi kurus dan tujuh pohon anggur rimbun memakan tujuh pohon anggur layu' (QS Yusuf [12]: 43). Nabi Yusuf membacanya sebagai akan datang tujuh tahun masa sulit ( sab'un syidadun ) yang menghabiskan logistik dan sesudah itu akan datang musim baik (hujan). Visi Yusuf ini membekalinya untuk melakukan antisipasi-antisipasi dengan menyiapkan logistik dan segala sesuatunya untuk menghadapi masa sulit itu. Visi inilah yang menyelamatkan Yusuf AS dan kaumnya dari kelaparan dan kesulitan. Kisah Yusuf AS adalah kisah tentang kearifan lingkungan. Sebuah kisah yang menyajikan sikap sadar, spiritual, dan bersyukur atas karunia Allah dalam wujud keakraban yang berani terhadap alam lingkungannya. Visi kearifan lingkungan menghindarkan Nabi Yusuf dari bencana kelaparan dan ini menjadi pelajaran bagi umat-umat sesudahnya.Berlawanan dengan visi Nabi Yusuf AS itu adalah sikap-sikap abai terhadap lingkungan seperti yang diperlihatkan oleh manusia modern ini. Bencana-bencana itu bukan semata-mata karena alam, tetapi juga karena ulah kita yang tak peduli padanya. Kita terus melukai dan membebani kemampuan daya dukung lingkungan tanpa melihat dengan arif akibat-akibatnya. Redupnya daya baca kita atas tanda-tanda zaman (baca: ayat-ayat Allah) membuat makin redupnya manusia sebagai khalifatullah fil ardh . Jika ini terus-menerus berlangsung diidap oleh manusia, makna manusia sebagai 'wakil Tuhan' ( khalifatullah ) menjadi tidak relevan lagi. Kita mempertanyakan lagi posisi 'wakil Tuhan' karena kita tak lagi mampu membuat kebajikan-kebajikan buat lingkungan. Penegasan kembali kearifan lingkungan perlu dilakukan dan kini menemukan momentumnya sehingga lingkungan bumi menjadi tempat berlindung yang bersahabat. Sikap self-realization atau re-earthing (pembumian kembali) perlu dibangun untuk memperkuat topangan-topangan nilai dalam tindakan manusia atas lingkungannya.

Penulis: Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen STAIN Surakarta
Tulisan ini dimuat oleh Harian Republika, Senin 30 Maret 2009

Rabu, 22 April 2009

Mencari Pintu Masuk Bagi Dialog Peradaban


Oleh: Mudhofir Abdullah
(Candidate Doctor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Direktur Yayasan Azhary Jakarta)

Heboh. Penerbitan sebuah majalah di Denmark yang menghina Nabi Muhammad SAW menuai protes global. Dalam kartun itu, Nabi digambarkan membawa bom bak seorang teroris. Dunia pun dicekam ketakutan. Lima kantor Kedubes dibakar massa di Suriah dan Lebanon (Headline SOLOPOS, 6/2). Akankah isu penghinaan ini menjadi pertanda babak baru perang atau benturan ”Islam” dan ”Barat”?
Pernyataan Sekjen PBB Kofi Annan sangat simpatik. Kepada umat Islam, Annan mengimbau agar dunia Islam menerima permintaan maaf dari suratkabar yang memuat gambar Nabi Muhammad SAW tersebut. ”Saya mendesak kawan-kawan muslim untuk menerima permintaan maaf ini, atas nama Allah Yang Maha Pengasih,” imbau Annan (Detikcom, 4/2). Selanjutnya, Annan menyatakan bahwa kebebasan pers harus selalu diterapkan melalui penghormatan terhadap keyakinan agama dan ajaran seluruh agama (Kompas, 4/2).Apa yang dilakukan Kofi Annan sangat tepat. Kasus pelecehan terhadap seorang Nabi yang sangat dihormati umat Islam dan semua agama bukanlah isu sepele. Ia merupakan isu internasional dan dapat mengancam stabilitas global jika tidak segera direspons secara cepat dan bijak. Di tengah memanasnya ketegangan antara dunia Islam versus Barat pascatragedi WTC 11/9 dan aksi militer atas Afghanistan dan Irak, pelecehan oleh Majalah Jyllands-Posten (30 September 2005) yang kemudian direproduksi oleh media Barat baru-baru ini dapat ditafsirkan sebagai genderang perang. Alih-alih mengupayakan dialog peradaban, kasus kartun Muhammad itu justru kian mempertebal benturan peradaban.Tidak belajarSungguh, untuk kesekian kalinya dunia tak pernah belajar dari kasus-kasus yang menyangkut ultimate concern. Nabi, Kitab Suci, Tuhan (Allah) tempat-tempat ibadah (mesjid, gereja, pura, kelenteng) adalah simbol-simbol sakral yang harus dirawat dari perusakan atau pelecehan. Semua agama dan pemeluknya sangat mengerti dan menghormati simbol-simbol tersebut. Simbol menurut Mircea Eliade (1907-1986) adalah entitas yang menghadirkan dunia sebagai totalitas yang hidup; yang meremajakan dunia secara terus-menerus, kaya, penuh kekuatan dan tak habis-habisnya. Tak heran, jika suatu simbol sakral diganggu atau dilecehkan akan menimbulkan reaksi sangat keras. Masih segar dalam ingatan kita kasus pemberitaan Newsweek tentang pelecehan Alquran oleh tentara AS di Penjara Guantanamo Mei tahun lalu. Pelecehan ini mengundang ribuan bahkan jutaan protes umat Islam di seluruh dunia. Bahkan aksi protes massa umat Islam di Pakistan memakan korban tewas 15 orang. Kita juga ingat hebohnya novel Salman Rushdie the Satanic Verses tahun 1988 yang juga melecehkan Nabi, Alquran dan umat Islam. Ketegangan dunia meningkat ketika pemimpin spiritual Khomeini dari Iran menghukum mati Rushdie tahun 1989 dengan hadiah 1 miliar kepada siapa saja yang bisa membunuhnya.Di Indonesia, kita diingatkan oleh kasus poling Monitor tahun 1990 yang hampir menyeret kerusuhan sosial. Poling Monitor tentang tokoh-tokoh idola yang dimotori oleh Arswendo dianggap melecehkan Muhammad SAW, karena poling itu sembrono dalam metode sehingga hasilnya menempatkan Muhammad di bawah Arswendo sendiri.Kita tentu menyesalkan reaksi berlebihan. Tetapi kita juga menyesalkan mengapa terhadap simbol-simbol sakral agama tidak berhati-hati? Mengapa dunia tak belajar dari kasus-kasus sejenis? Bagi sebagian besar masyarakat AS dan Barat, boleh jadi simbol-simbol bahkan agama itu sendiri tak dianggap penting. Sekularisasi massif peradaban Barat menyebabkan ranah agama tak lagi dominan dan menentukan. Tetapi bagi peradaban Timur, simbol-simbol dan agama masih menjadi aspek penting dalam kehidupan. Ia masih kuat, yang meminjam Paul Tilich (1887-1965) dalam Dynamics of Faith (1957) disebut sebagai suatu ultimate concern (titik dasar tertinggi dan terakhir).Ide multikulturalisme yang dikembangkan Barat menegaskan harus dilakukan dalam batas-batas keadaban (within the bonds of civility). Dialog peradaban, karena itu, masih menjadi agenda yang tetap relevan bagi dunia untuk mengurangi ketegangan. Dialog peradaban mensyaratkan adanya sikap saling menghargai. Penghinaan terhadap unsur-unsur peradaban, seperti agama dan kepercayaan, berarti sebuah pelanggaran. Dan ia mencerminkan sebuah kondisi uncivilized (tak berkeadaban). Barat harus tegas mengutuk keras pelecehan terhadap salah satu unsur peradaban itu. Sebuah dialog tak bisa efektif jika prinsip dasarnya, yaitu sikap saling menghormati, dilanggar.Kasus kartun Nabi Muhammad bisa menjadi pintu masuk bagi dialog peradaban. Kecaman Sekjen PBB dan sejumlah petinggi negara AS dan Eropa pada kasus itu bisa sedikit mengobati dunia Islam yang tercederai. Dunia Islam pun diharapkan tidak menggunakan kekerasan dalam melakukan reaksi. Dialog dan diplomasi merupakan pilihan bijak untuk meredam ketegangan ini.Saya percaya, meski sejarah panjang tak pernah dapat terhindar dari benturan-benturan antarperadaban, namun selalu ada juga ada faktor-faktor integratif yang bersifat universal. Yakni kian terwujudnya kesadaran dan hati nurani global yang tak terikat oleh peradaban tertentu, tapi mewakili jatidiri sebagai manusia, terlepas dari perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Artinya laksana puncak gundukan pasir runtuh yang selalu mencari keseimbangannya, maka potensi konflik antara dua peradaban itu selalu direm oleh potensi lawannya, yaitu potensi berdamai, berkonsensus, dan bekerjasama.Ada isu-isu strategis yang dihadapi bersama oleh semua umat manusia di planet bumi, yaitu krisis ekologi, ancaman nuklir, kemiskinan, pelanggaran HAM, korupsi dan lain-lainnya. Umat beragama dan umat manusia sedang berada dalam ancaman krisis-krisis itu. Bila kasus-kasus pelecehan pada agama selalu terjadi, maka energi akan terkuras secara percuma. Dalam konteks domestik, kasus Kartun Nabi Muhammad SAW membawa hikmah. Kasus ini mengajarkan kepada masyarakat Indonesia yang majemuk untuk tidak mengusik, melecehkan, dan bermain-main dengan agama dan simbol-simbolnya. Semua agama yang hidup di Indonesia, dengan kasus itu, diharapkan tidak terganggu. Tetapi justru kian menumbuhkan solidaritas sebagai sesama bangsa.Meski demikian, kasus Kartun Nabi Muhammad SAW, tidak berarti membungkam kebebasan pers dan berekspresi. Sejauh berada dalam koridor kode etik dan kesediaan untuk menghormati keunikan sebuah agama berikut simbol-simbolnya, maka freedom of opinion and expression tak menjadi soal. Kini kian disadari bahwa dalam sebuah dunia yang kian tembus pandang, tanggung jawab media (massa maupun elektronik) sungguh sangat mulia dan besar dalam memberi pencerahan serta nilai-nilai solidaritas global. - *) Tulisan ini pernah dimuat oleh SOLOPOS. Penulis dapat dikontaka pada mudhofir1527@gmail.com atau 081586561136

Jumat, 27 Maret 2009

MASA DEPAN PERADABAN ISLAM: DI PERSIMPANGAN JALAN?

Oleh: Mudhofir Abdullah
(Candidate Doctor UIN Syahud Jakarta)

Diskursus keislaman dan kebudayaan, dalam sejarahnya, selalu saja menunjukkan gairah, elan vita, dan dinamikanya yang unik. Unik karena Islam di antara agama-agama yang lainnya paling aktif dan hidup di tengah-tengah kehidupan modern, terutama, dilihat dari sisi semangat dan praktik para pemeluknya. Sejak didakwahkan oleh Nabi Muhammad SAW. di Mekah tahun 611 M., Islam telah mengalami berbagai persentuhan dengan kebudayaan dan peradaban lain. Dalam rentang itu pula, dilihat dari sisi praksis, Islam mengalami jatuh bangun, sekalipun dari sisi normatif ia selalu kokoh berkenalan dengan sistem, ideologi, dan world view lainnya.
Dalam masa perkenalan dengan peradaban Helenis (jaman Romawi dan Persia), misalnya, Islam cukup berhasil memetik manfaat yang begitu besar berupa adopsi ilmu-ilmu, teknologi, kebudayaan, dan sistem-sistem sosial lainnya. Hasilnya adalah lompatan besar peradaban Islam sebagaimana tercermin dalam berbagai ekspansi teritorial, sistem pendidikan, dunia pemikiran, dan bangunan-bangunan berkualitas tinggi baik di Eropa (Spanyol), China, dan Persia (wilayah Iran sekarang). Hampir tujuh abad lamanya, Islam bertengger di atas memimpin peradaban lainnya dalam bidang pemikiran (filsafat, kedokteran, ilmu fisika, geometri, dan lain-lainnya). Kesuksesan historis ini, tentu, sangat mengejutkan peradaban lain seperti Romawi, Persia, dan China menyaksikan betapa luas, cepat, dan dinamisnya peradaban Islam itu melanda bagian dunia lain. Padahal, dilihat dari sumber alam, Arab Saudi—di mana agama Islam lahir dan berasal—adalah hanya hamparan tanah yang gersang, bergunung-gunung, terlalu panas kalau siang, dan terlalu dingin kalau malam. Pada saat itu, Mekah dan sekitarnya, tidak pernah diperhitungkan sedikitpun oleh Persia dan Romawi. Tetapi, mereka terkejut ketika Nabi Muhammad SAW. mulai membawa pesan-pesan keagamaan Islam yang begitu cepat membahana ke seluruh alam. Ke arah barat Islam menguasai seluruh daerah Afrika Utara, menduduki sebagian besar Spanyol dan masuk hingga ke pusat Perancis. Ke arah Timur Islam menduduki Imperium Persia dan merembes masuk ke Asia Tengah serta Punjab sampai akhirnya menjangkau seluruh alam, termasuk Indonesia dengan mencatat rekor sebagai pemeluk Islam terbesar se dunia.
Memang kota Mekah waktu itu sebagai kota perdagangan yang ramai dikunjungi bangsa-bangsa lain yang berdekatan, tetapi hamparan sisanya adalah tanah-tanah yang hanya menawarkan sedikit sumber alam sehingga penduduknya suka berburu dan berdagang untuk bertahan hidup. Dari situasi itulah, Islam lahir, yang dibawa oleh seorang Nabi yang sejak mudanya memperlihatkan sikap-sikap yang luhur dan dijuluki oleh masyarakatnya Al-Amin (yang terpercaya); seorang Nabi yang berasal dari keturunan Ibrahim AS di mana dia merupakan bapak dari agama-agama sawawi: Yahudi, Kristen, dan Islam yang selanjutnya sering disebut sebagai (Abrahamic tradition/religion).
Aspek kesejarahan yang begitu mencengangkan ini menjadi dasar bagi suatu penilaian bahwa Islam merupakan entitas yang begitu penting dan ditakdirkan untuk memperbarui paham dan praktik keagamaan masyarakat manusia yang telah mengalami titik nadir, sehingga perlu untuk diperbarui. Juga untuk menyempurnakan pesan-pesan Tuhan sebelumnya baik yang ada di Taurat maupun Injil. Dalam arti ini, kelahiran Islam adalah sebuah desain Tuhan (Allah swt.) dan bukan kehendak Nabi Muhammad SAW. sebagaimana dituduhkan oleh para orientalis. Islam adalah pesan universal yang memiliki dimensi-dimensi moral yang tinggi mencakup berbagai ras, bahasa, etnis, warna kulit, dan daerah /bangsa. Islam lahir untuk memenuhi panggilan kebutuhan manusia yang tersesat oleh hiruk-pikuknya kehidupan duniawi yang dipenuhi oleh peperangan, praktik-praktik imoral, dan berbagai dimensi negatif-destruktif lainnya. Karena itu, kelahiran Islam, secara metaforis, digambarkan sebagai cahaya yang menerangi kegelapan alam dan membimbing arah perjalanan manusia di dunia agar tetap berada di jalan Tuhan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang telah ada sejak adanya manusia, din al-fitrah. Ia menegaskan kebenaran abadi dan merupakan jalan hidup. Sebagai jalan hidup, Islam mencakup seluruh aspek eksistensi dan tingkah laku manusia. Tidak ada salah satu aspek pun yang lebih penting dibandingkan aspek yang lain, dan terdapat suatu kesatuan dan keseimbangan antara aspek material, rasional, dan spiritual dalam setiap usaha manusia. Realisasi ini penting untuk membahas masa depan peradaban muslim dan juga peradaban manusia secara keseluruhan. Dikarenakan oleh adanya keseimbangan inilah, Islam sering digambarkan sebagain ‘jalan tengah’ dan inilah pula sebabnya Islam, sebagai jalan hidup, dikatakan mengarah kepada moderasi. Ini berarti bahwa Islam tampil dengan penyempurnaan-penyempurnaan atas pesan-pesan agama samawi lainnya. Selanjutnya, interaksi kesejarahan telah menghasilkan titik singgung dengan realitas lain sehingga tak jarang pesan moral perdamaian dan kerja sama antar umat beragama mengalami interupsi.

Beberapa interupsi
Begitulah, sejarah Islam tampil berhadapan dengan berbagai realitas. Umat Islam pun belajar menghadapi dan memperlakukan realitas sedemikian rupa sehingga antara Islam dan realitas tidak kehilangan titik keterputusan. Relevansi antara Islam dan realitas selalu diusahakan untuk tetap terjaga. Upaya-upaya ini memiliki konsekuensi pada aktivitas pemikiran umat Islam yang makin dinamis dan kompleks dan dalam menyertai aktivitas ini adalah terwujudnya karya-karya, pemikiran-pemikiran, dan akhirnya peradaban Islam. Energi untuk proses ini terlalu terkuras, sehingga peradaban Islam bergulat dalam proses dekonstruksi-rekontruksi melalui reinterpretasi dan reaktualisasi pemahaman keagamaan. Proses intelektual inilah yang mengawal dan menyertai jatuh bangunnya sebuah peradaban Islam yang mengalami pasang surut yang dalam sejarah pernah mengalami puncak kejayaannya pada abad-abad pertengahan justru ketika Eropa dan Barat dilanda abad kegelapan dan kebodohan.
Namun segera ditambahkan bahwa akibat kekalahan-kekalahan politis, ekonomi, dan teknologi, di samping tentu saja akibat konflik-konflik internal umat Islam (seperti pada masalah-masalah teologi, fikih, dan lain-lainnya), vitalitas peradaban Islam berangsur-angsur surut sampai akhirnya pada awal-awal abad ke –19 dunia Islam gagal melahirkan jaman modern.[i] Modernisasi justru dilahirkan oleh Kristen Barat, sehingga Islam tidak lagi mampu mengontrol pesatnya kemajuan di luar peradabannya. Konsekuensi dari kegagalan ini adalah gagalnya umat Islam menciptakan tata dunia baru yang ditandai oleh teknologi. Padahal teknologi inilah yang menjadi garda depan kemajuan infrastruktur sosial-ekonomi-budaya dan militer. Lalu Baratlah yang melakukan ekspansi teritorial besar-besaran dengan sasarannya bangsa-bangsa Arab, Asia, dan Afrika (yang beragama Islam), termasuk Indonesia. Kejayaan dan hegemoni Barat atas Islam hingga kini masih berlangsung. Hal ini menjadi titik balik bagi peradaban Islam yang makin tidak berdaya di hadapan bangsa Eropa dan Amerika. Kekuatan Barat hampir sempurna untuk tidak dapat ditandingi lagi oleh umat Islam. Masalah inilah yang sampai hari ini menjadi masalah krusial yang diatasi oleh dunia Islam. Tentang ini, Malise Ruth Ven menulis:
Sejak penghujung abad ke-18 masalah dominasi Barat—baik dipandang sebagai kaum Kristen, sekuler ataupun ateis—telah menyita perhatian utama para pemikir dan aktivis Muslim, serta bahkan seluruh umat Islam, yang telah berupaya merumuskan relevansi pesan al-Qur’an bagi generasi mereka.[ii]

Selanjutnya, dalam waktu yang sama, berbagai konflik pun menyertai kehidupan beragama antara Islam dan agama-agama lainnya. Dari pihak Islam, lahir pula ekstremitas beragama sebagai artikulasi dari kekalahan umat atas kebudayaan Barat. Maka umat Islam terbelah dalam menyikapi kekalahan dan modernitas yang asing bagi mereka. Ada umat Islam yang menempuh jalur fundamentalis (ushuliyyin), sementara itu ada umat Islam yang lainnya lebih memilih kerja sama dan belajar kebudayaan Barat sebagai cara untuk memajukan taraf kebudayaan mereka. Sikap yang berbeda ini terjadi sebagai akibat dari tinjauan dunia mereka atas berbagai ajaran agama. Juga ditentukan oleh pengalaman, wawasan, dan tradisi berfikir mereka terhadap realitas ini. Maka tak heran jika kemudian antara Islam dan Barat diramalkan akan berbenturan, sebagaimana ditulis oleh Huntington dalam bukunya yang kontroversial “The Clash of Civilization”. Ramalan ini merujuk pada kenyataan bahwa Islam di satu pihak, dan Barat di pihak lainnya, memiliki jalur pemikiran, tradisi, dan kultur yang berhadap-hadapan sehingga berpotensi untuk terjadinya konflik atau benturan.
Terlepas dari benar-tidaknya teori-teori itu, problem dunia Islam atas gejala-gejala modernitas yang dikuasai Barat, dan kemunduran Islam di pihak lainnya, mencerminkan adanya perjuangan tak henti-hentinya dunia Islam merekonstruksi peradabannya. Berbagai usaha rekonstruksi ini pun banyak lahir dari karya-karya para intelektual Islam yang, di antaranya, banyak merepresentasikan kegelisahan mereka atas realitas dunia Islam yang dilanda kemunduran hampir di berbagai bidang. Islam, lalu, nampak sebagai entitas yang identik dengan terorisme, keterbelakangan, kemiskinan, keras kepala, dan barbar. Stigma-stigma yang negatif ini, di satu pihak, sangat menyakitkan umat Islam, yang pada waktu bersamaan tidak berdaya menepis stigma itu. Insfrastruktur untuk menepis terlalu kecil sehingga usaha-usaha untuk itu terlalu tenggelam dalam bayang-bayang keperkasaan kebudayaan dan peradaban Barat.
Kini, dan mungkin sampai batas yang tidak diketahui, dunia Islam berada pada kebimbangan bagaimana rekonstruksi peradaban Islam dimulai. Seluruh energi telah banyak dilakukan seperti dengan mulai menerima kehadiran sistem-sitem modern seperti perbankan, kapitalisasi, perjanjian-perjanjian dunia, dan mengadopsi berbagai teknologi mutakhir yang telah menjadi bagian integral kehidupan modern seperti kebudayaan internet. Sebagian diadopsi secara kritis sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Islam, tetapi tak jarang menerima sistem modern ala Barat secara total tanpa seleksi. Akibatnya adalah terbelahnya ragam pemahaman mereka atas teks-teks wahyu dan tradisi. Itulah pergulatan tanpa akhir yang sedang melanda dunia Islam, di samping menghadapi peliknya stigma negatif Barat atas mereka. Juga masalah-masalah ekonomi, kemiskinan, kesenjangan sosial, kesehatan, pendidikan, dan penyelesaian konflik-konflik politik dan ekonomi yang selalu menyertai perjalanan dunia Islam.[iii]
Dari alasan-alasan di atas suatu pertanyaan pantas diajukan, dapatkah umat Islam akan memetik kesuksesan kembali dalam persinggungannya dengan jaman modern sebagaimana pernah sukses dalam sejarah pertemuan pertama dengan peradaban Helenistik yang begitu gemilang pada abad-abad awal Islam? Apakah jaman modern senantiasa menjadi ancaman atau tantangan bagi dunia Islam? Apakah usaha-usaha dunia Islam untuk bangkit kembali dari tidur pulas tradisionalnya ini belum mampu menampakkan geliat keberhasilan? Apakah usaha-usaha itu programatik, sistemik, dan memiliki visi yang sama di antara dunia Islam yang terpencar-pencar? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang menghinggapi kegelisahan, semangat, dan energi intelektual umat Islam yang segera memerlukan aksi.

Stigma dan Islamophobia
Di tengah-tengah kegelisahan yang belum pulih, dunia Islam digempur oleh berbagai stigma yang negatif dari dunia Eropa dan Amerika beserta sekutunya. Dunia Islam telah lama dianggap sebagai dunia yang penuh intrik, teroris, kebodohan, barbar, penuh darah, dan tidak bisa diatur. Kontrol media Barat dan Amerika atas dunia Islam cukup berhasil menggambarkan potret Islam dalam bentuk stigmatisasi yang sangat sempurna. Hasilnya adalah gambaran buruk-rupa Islam di mata dunia dan bangsa-bangsa modern.
Contoh-contoh tentang buruk-rupa wajah Islam dieksploitasi melalui tokoh-tokoh tiran dari negara Islam, seperti Khadaffy, Saddam Husein, Khumaeni, jaringan Al-Qaedah (Osama bin Laden) dan lain-lain. Tentu, pandangan negatif ini kental dengan sinisme dan stereotipe Barat dan Amerika atas Islam. Ini berarti Islam dikonstrusikan dan dikerangkeng dalam perspektif-perspektif Barat yang penuh kebencian. Obyektivitas pandangan Barat dan Amerika atas dunia Islam tampak dipenuhi oleh pandangan konfliktual dan kental dengan kebencian di masa lalu (misalnya, tragedi-tragedi peristiwa Perang Salib). Jadi, dalam dunia Barat dan Amerika telah dijangkiti penyakit islamophobia, yaitu penyakit kejiwaan yang memandang sesuatu sebagai menakutkan dan karena itu perlu dijauhi bahkan dimusnahkan dari dunia. Perspektif yang sangat ironis ini tentu tidak bisa diharapkan untuk melahirkan pandangan yang jujur, obyektif, dan adil atas dunia Islam. Kejujuran untuk melihat dunia Islam yang adil dan obyektif hanya dimiliki oleh ilmuwan-ilmuwan Barat dan Amerika yang jujur dan memiliki komitmen tinggi pada prinsip-prinsip ilmiah. Kelompok ilmuwan inilah yang sedikit banyak menampilkan citra yang positif. Ini, tentu saja, hanyalah oase dari gempuran tak henti-henti dari hujatan Barat dan Amerika atas Islam.
Serangan paling nyata dan dilakukan secara fisik adalah tindakan militer Amerika dan sekutunya atas Afghanistan tahun 2001 dan Irak tahun 2003. Serangan ini dipicu oleh tragedi 11 September 2001 yang menimpa Menara Kembar WTC (World Trade Centre) dan Pentagon Amerika, yang diduga dilakukan oleh jaringan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Kemudian pada tanggal 12 Oktober tahun berikutnya (2002) ledakan terjadi. Kali ini menimpa kawasan wisata Bali dengan korban hampir 200 ribu jiwa dari berbagai negara. Peristiwa dilakukan oleh jaringan terorisme di Asia Tenggara dan memiliki hubungan dengan jaringan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Kasus-kasus terorisme ini dengan cepat dan mudah langsung dialamatkan ke umat Islam. Dunia Islam lalu tersentak dengan kenyataan pahit ini. Serangkaian tragedi inilah yang mengilhami serangan Amerika dkk. ke Afghanistan dan Irak, walaupun pendapat ini dibantah oleh mantan menteri keuangan yang dipecat George W. Bush, Paul O’Neill yang menyatakan bahwa Bush sejak awal-awal jabatannya sudah merencanakan serangan militer ke Irak, “Bush melakukan berbagai upaya untuk melaksanakan niatnya menyerang Irak”, kata O’Neill, “Bush bagai orang buta di dalam ruangan yang penuh dengan orang tuli saat memimpin rapat-rapat kabinet”, kata O’Neill selanjutnya. Kesaksian O’Neill seperti ditulis dalam buku The Price of Loyalty karya Ron Suskind menunjukkan bahwa ada ketidakjujuran politik Amerika atas dunia Islam.[iv] Padahal Korea Utara, dan Israel adalah negara-negara yang memiliki senjata nuklir, tetapi poisinya aman-aman saja, mungkin karena mereka bukan bangsa muslim sehingga tidak diserang secara militer.
Karena itu, mudah dipahami bahwa serangan Amerika atas dua bangsa ini—yang kebetulan adalah bangsa Muslim dianggap sebagai serangan terhadap dunia Islam yang dilakukan tidak dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan. Terlepas dari alasan yang dibuat-buat Amerika dkk., serangan ini jelas dianggap sebagai kelanjutan dari artikulasi Islamophobia Barat atas Islam. Serangan militer ini terjadi di dunia modern yang sangat menghargai HAM, tetapi kebiadaban Amerika hampir tak ada yang bisa menghentikannya. Maka terjadilah sebuah elegi bagi Umat Islam dengan korban-korban harta, nyawa, dan air mata yang maha dahsat. Belakangan terbukti bahwa alasan Amerika dkk., tidak benar karena senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction) yang dijadikan sebagai alasan serangan tidak ditemukan. Kecongkakan bangsa Amerika dkk., lagi-lagi menanamkan investasi kebencian dan ketidakadilan bagi umat Islam.
Hasilnya adalah keterkejutan umat Islam di segala hal dan pada akhirnya memberi kesadaran bagi perlunya sikap bersama umat Islam untuk menghadapi ketidakadilan ini melalui cara-cara diplomasi dan kerjasama secara adil, sekalipun tak bisa ditutup-tutupi bahwa ada kelompok-kelompok yang geram dan putuys asa sehingga melakukan perlawanan secara berlebihan melalui terorisme. Semua usaha itu, dilakukan sebagai satu-satunya jalan untuk mengakhiri konflik agama yang dibalut secara tebal oleh dimensi-dimensi ekonomi dan politik. Sikap yang merupakan sikap dominan umat Islam dunia ini tidak berarti tidak kritis pada Barat dan Amerika, tetapi secara diplomatis menjalankan kampanye solidaritas Islam dan perdamaian sebagai pesan Islam untuk seluruh alam. Dunia Islam harus berjuang bersama melawan ketidakadilan untuk selanjutnya membangun kerjasama dengan berbagai peradaban yang ada. Semangat jaman kita adalah semangat membangun atas dasar cahaya etik agama-agama besar dunia yang murni dan sejati, bukan agama yang telah dibungkus oleh kepentingan etnis, kelompok, dan ekonomi-politik.
Dari garis argumen ini, nuktah-nuktah pemikiran dari buku ini diharapkan bisa memberi inspirasi bagaimana memahami kenyataan dari konfigurasi dunia Islam yang berada di bawah bayang-bayang dominasi Barat dan Amerika, dan selanjutnya bagaimana memberi respon yang tepat dan strategis sehingga dunia Islam tidak bergerak dalam lumpur keputusasaan dan ketidaberdayaan yang berkelanjutan tanpa akahir. Melawan kekuasaan yang congkak dan terlalu kuat memerlukan strategi-strategi yang jitu, sehingga perlawanan atau respon dunia Islam lebih terarah, berjangka panjang, dan berkelanjutan dengan energi yang makin kuat.




Catatan Akhir

1Bandingkan dengan tulisan S.M.N. Al-Atas, Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethic and Morality (Kuala Lumpur, 1975).
[ii]Malise Ruth Ven, Islam in the World, Harmondsorth, 1984, hlm. 289
[iii] Situasi ini menyebabkan lahirnya apa yang oleh Fazlur Rahman disebut “neo-fundamentalisme”, yakni kelompok umat Islam yang memiliki kesetiaan penuh dan ikatan emosional yang kuat sekali pada Islam dan sangat menginginkan Islam itu diperkuat untuk menghadapi Barat, selanjutnya Fazlur Rahman mengatakan, “…So far as Islamic learning is concerned, they are dilettantes: indeed neo-fundamentalism is basically a function of laymen, many of whom are professionals—lawyers, doctors, engeneers” lihat Fazlur Rahman, Roots of Islamic –Neo-Fundamentalism,” Dalam Philip H. Stodard, et. al., eds., Change and the Muslim World (Syracuse, Y.N. University Press, 1981), p. 27-28.
[iv] Kompas, 15 Januari 2004 dan Solopos, 14 Januari 2004.

Catatan Akhir

1Bandingkan dengan tulisan S.M.N. Al-Atas, Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethic and Morality (Kuala Lumpur, 1975).
[1]Malise Ruth Ven, Islam in the World, Harmondsorth, 1984, hlm. 289
[1] Situasi ini menyebabkan lahirnya apa yang oleh Fazlur Rahman disebut “neo-fundamentalisme”, yakni kelompok umat Islam yang memiliki kesetiaan penuh dan ikatan emosional yang kuat sekali pada Islam dan sangat menginginkan Islam itu diperkuat untuk menghadapi Barat, selanjutnya Fazlur Rahman mengatakan, “…So far as Islamic learning is concerned, they are dilettantes: indeed neo-fundamentalism is basically a function of laymen, many of whom are professionals—lawyers, doctors, engeneers” lihat Fazlur Rahman, Roots of Islamic –Neo-Fundamentalism,” Dalam Philip H. Stodard, et. al., eds., Change and the Muslim World (Syracuse, Y.N. University Press, 1981), p. 27-28.
[1] Kompas, 15 Januari 2004 dan Solopos, 14 Januari 2004.

Bencana Situ Gintung, perbuatan Tuhan, Manusia, atau Alam?

Oleh: Mudhofir Abdullah

Sekitar pukul 05.00 pagi Jumat, 27 Maret 2009 Tanggul Situ Gintung ambrol dan menelan dua kampung di sekitarnya. Sampai dengan pukul 12.00 korban tewas sekitar 35 orang dan korban hilang lain belum diketahui. Rumah-rumah penduduk ditelan banjir dan sejumlah rumah roboh. Mobil-mobil warga ikut terseret arus air. Korban adalah anak-anak, wanita dan orang tua. Luapan banjir yang mirip tsunami kecil itu menelan korban yang tidak murah. Pertanyaannya, siapa pelakunya? Tuhan, manusia, atau semata-mata alam?
Para pengkhotbah pasti akan menyampaikan bahwa itu musibah karena banyak pendosa yang tidak beribadah kepada Allah. Atau para ecologists akan mengatakan itu akibat ulah manusia yang tidak memerhatikan lingkungan. Sementara orang awam akan bilang, “itu karena alam dan kita kena sial”. Tiga tipologi jawaban itu tak sepenuhnya benar dan perlu dikritisi.
Jika bencana Situ Gintung karena azab atau musibah Allah, mengapa harus menimbulkan korban manusia yang nyawa dan penderitaannya sulit kita bayangkan? Mengapa Allah mendendam kepada hamba-Nya sendiri yang lemah? Mengapa anak-anak yang tak berdosa dan belum mengetahui apa makna dosa dan pahala ikut jadi korban? Mengapa korbannya nenek-nenek yang sebentar lagi mati? Mengapa dan mengapa ini terjadi? Bencana itu, pastilah bukan perbuatan Tuhan, tapi ulah manusia yang tidak memerhatikan lingkungan dan tata ruang penyelamatan lingkungan. Manusia itulah yang menjadi akar-akar penyebabnya? Manusia yang mana? Di lokasi itu banyak pula orang yang baik-baik, tapi jadi korban juga. Lalu pemerintah kota? Atau sejarah alam yang menyebabkan bencana itu?
Saya tidak bisa menjawab tegas semua itu. Tapi saya tegas menolak, bencana itu perbuatan Tuhan karena dendam gara-gara manusia tidak patuh pada-Nya. Saya lebih setuju kalau bencana itu adalah sejenis “kelalaian spesies manusia yang bertanggungjawab pada lingkungan Situ Gintung tapi tidak memeriksa atau menyelidiki seberapa aman lingkungan sekitar. Mengapa tidak ada peringatan seberapa bahaya lingkungan sekitar? Kesalahannya semata-mata pada ketimampuan ketajaman melihat ‘tanda-tanda jaman’ karena terlelap oleh kepuasan pada duniawi. Lalai karena hatinya kafir atau cover (tertutup) untuk mengawasi lingkungannya dari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam.
Jangan pula menyalahkan korban (blaming the victim), karena korban-korban itu ada yang baik, ada yang anak-anak, dan orang-orang miskin yang selama hidupnya tertindas oleh ketidakadilan sistem sosial dan politik. Sekali lagi jangan salahkan para korban, jangan salahkan Tuhan, dan jangan salahkan alam. Salahkan manusia-manusia yang lalai pada peringatan-peringatan-Nya. Jadi kelalaian itulah yang menjadi sebab semua bencana, termasuk bencana di Situ Gintung itu.