Kamis, 12 Juli 2007

Kearifan Lingkungan

Bencana alam dan bencana-bencana lainnya, sejatinya, tidaklah sepenuhnya karena ulah alam. Manusia ikut berkontribusi, misalnya, karena alpa dan masa bodoh menjaga alam, lingkungan atau tidak mengindahkan isyarat-isyarat dan peringatannya. Alam dan lingkungan dikuasai dan dieksploitasi tanpa pernah secara cermat dan arif dijaga serta dilestarikan. Ibarat pelacur, alam hanya dieksploitasi untuk kesenangan sesaat dan setelah itu ditinggalkan begitu saja. Kearifan untuk mengelolanya dikalahkan oleh nafsu berahi kepuasan egoistiknya. Penguasa, pengusaha, dan sekelompok manusia serakah menggadaikan laut, bumi, hutan dan lingkungan untuk menumpuk harta dan kekayaan. Tak heran jika keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmosnya terganggu dan rusak.

Dari ajaran agama hingga ajaran para filosof menyebutkan bahwa alam semesta adalah sumber kebajikan. Karena itu, manusia disarankan untuk berharmoni dan meniru perilaku alam semesta jika ingin memperoleh keutamaan hidup.

Alam semesta adalah jejak-jejak keagungan Allah dan manusia diperintahkan untuk mengelolanya dengan sebaik-baiknya untuk menimbulkan sebanyak-sebanyaknya kemanfaatan bagi umat manusia. Bertindak culas pada alam semesta adalah sebuah tindakan menggali kuburannya sendiri. "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat ulah mereka sendiri" QS., al-Rum: 41. Adakah bencana beruntun selama ini akibat ulah bangsa dan para pemimpin kita dalam mengelola alam semesta?

Pertanyaan ini harus menjadi renungan bersama. Apalagi bencana datang terus-menerus seperti menyampaikan pesan kekonyolan perilaku kita. Bencana-bencana itu tidak normal dilihat dari sisi logika karena terjadi secara berulang. Makna pembangunan, makna pemerintahan, dan makna kepemimpinan dipertanyakan kembali. Bahkan makna kegairahan beragama dinilai gagal menyadarkan dan mengarahkan manusia pada ketajaman membaca pada tanda-tanda dan isyarat-isyarat alam beserta segenap tanggung jawab pengelolaannya.


Mudhofir Abdullah

Islam dan Masalah Lingkungan

Dalam Islam, ajaran tentang lingkungan sangat berlimpah baik implisit maupun eksplisit. Kata bumi (ardh), misalnya, disebut sebanyak 485 kali dalam al-Qur'an.Belum lagi dalam Hadis. Namun potensi tentang konsep-konsep kepedulian pada lingkungan belum dieksplorasi secara maksimal oleh para intelektual Islam. Sedikit sekali tulisan-tulisan tentang Islam dan Lingkungan dari para ulama. Padahal krisis-krisis lingkungan kian parah. Maqashid al-Syari'ah (yakni, menjaga agama, menjaga, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang diakui sampai sekarang sulit ditegakkan jika lingkungan kian memburuk. Karena itu, urgensi mengembangkan Fiqh al-Bi'ah (Fikih Lingkungan) dalam kehidupan umat sangat penting dilakukan.
saatnya, para ulama dan tokoh-tokoh agama mengubah tema-tema tulisan ke isu-isu lingkungan. selanjutnya menyebarkannya ke semua pemeluk agama. Hal ini dilakukan karena masalah lingkungan tak cukup hanya diatasi dengan seperangkat Hukum dan Undang-Undang, tetapi harus ditopang oleh nilai-nilai etika dan agama. Islam dalam kasus ini sangat potensial untuk menopang keberlangsungan ekologi.
Fikih-fikih klasik hanya fokus pada masalah taharah, pakaian, makanan, dan sejenisnya. Tetapi masalah lingkungan kurang diperhatikan. Ini bisa dimengerti. mungkin dulu masalah lingkungan belum separah sekarang, sehingga kepedulian pada masalah lingkungan tidak spesifik. Bab-bab Fikih perlu ditambah terutama masalah menjaga lingkungan. Bukankah bencana-bencana yang terus menimpa bangsa kita akibat salah kelola lingkungan? bencana-bencana tidak selalu karena alam, tetapi juga karena kealpaan manusia yang menghuni bumi. Hutan gundul, pengerukan pasir, penyalahgunaan tepi pantai, dan lain-lain ikut berkontribusi. Inilah yang perlu mendapat perhatian semua ulama. Fiqh al-Bi'ah adalah sebuah keniscayaan.