Senin, 27 April 2009

Memaknai Cinta (Bagian 1)

Novel karya Mudhofir Abdullah
(Kolomnis, Candidate Doctor UIN Syahid Jakarta, dan Direktur Yayasan Azhary Jakarta)

Pagi itu langit cerah. Tidak tampak awan besar menggantung. Hanya di sana-sini nampak beberapa awan beronggok. Juga nampak awan tipis saling berkejaran. Angin bertiup lembut menerpa dedaunan pohon yang berdiri kokoh di sepanjang halaman kampus. Nampak daun-daun kering berserakan. Sebagiannya terinjak oleh lalu lalang para mahasiswa dan remuk. Sebagiannya terbang rendah terbawa tiupan angin spoi-spoi.
Angin itu juga membawa terbang debu-debu tipis yang merentang di sepanjang halaman kampus. Debu-debu itu terinjak kaki-kaki manusia, namun ia mampu terbang tinggi bila ditiup angin. Bahkan amat tinggi melampaui gedung-gedung, pohon-pohon, dan menara-menara masjid. Ya, debu itu meskipun tempatnya rendah dan nampak hina, ia mengajarkan kearifan: “Manusia betapa pun hinannya tak boleh disakiti, sebab boleh jadi ia kelak melampaui orang-orang yang menyakiti”.
Sementara itu, terlihat di pinggir jalan dekat kampus mahasiswa-mahasiswi bergerombol diiringi deru motor dan mobil yang lalu-lalang. Kesibukan pejalan kaki, pedagang warung makan, jasa fotokopi, dan warnet ikut menggoreskan lanskap suasana cemas yang menghantui hati Husen.
Dari kerumunan itu, terlihat mahasiswi cantik dan anggun berjilbab tengah bertransaksi. Mahasiswi itu adalah Rahma yang menenteng tas kulit berwarna gelap sedang membeli koran di seberang jalan. Dengan uang sakunya, Rahma sering membeli koran untuk menambah wawasannya. Ia tidak berlangganan agar setiap hari bisa gonta-ganti koran. Koran Kompas, Republika, Jawa Pos, The Jakarta Post, dan majalah Tempo, sering menjadi santapannya.
Dari jarak 40 meter tempat Husen duduk menunggu di serambi masjid kampus, Rahma nampak begitu anggun memesona. Jilbab berwarna cerah dengan paduan warna baju hijau menambah keanggunannya. Husen bergetar saat memperhatikan Rahma berjalan menuju ke arahnya. Napasnya tak beraturan mengimbangi detak jantung yang kian kencang. Husen sedang menunggu jawaban Rahma tentang SMS yang dikirimkan kepadanya. SMS itu bukan SMS sembarangan. Ia adalah kata cinta yang dia tulis dengan amat berat dan penuh spekulasi. “Adakah secercah harapan”, kata Husen dalam hati sembari menanti Rahma yang mulai mendekat ke arahnya.
Setelah Rahma hampir sampai, Husen berdiri dan mengucapkan salam. “Assalamu’alaikum, di sini saja Rahma. Tempatnya agak silir tidak panas”, sapa Husen menyambut kedatangan Rahma. Rahma mengangguk menuju arah yang diminta Husen. Tetapi Rahma tetap diam. Dia menunggu apa yang akan dikatakan Husen. Dia sudah tahu bahwa Husen memanggilnya untuk membicarakan soal SMS yang dikirim semalam saat dia belajar dan membaca buku. Setelah berbasa-basi secukupnya, dengan harap-harap cemas akhirnya Husen mengulangi apa yang telah ditulisnya dalam SMS itu. “Halo Rahma, mengapa kamu tak menjawab. Aku cinta padamu”, rayu Husen setengah cemas. Sambil membolak-balik koran, Rahma menjawab lembut, “Husen tolong mengerti, saya belum terpikirkan tentang itu. Cinta terlalu sakral untuk aku miliki. Sekarang aku sedang konsentrasi belajar. Kita bersahabat saja. Ini lebih abadi ketimbang cinta yang tidak dipikir matang-matang”.
Namun Husen tak puas dengan jawaban Rahma. Jawaban tersebut bagi Husen mengambang dan mencurigakan. “Aku harus bagaimana dan siapa sebenarnya pilihan Rahma”, tanya Husen dalam hati dengan nada curiga. Husen sebenarnya ingin minta penjelasan tentang alasan apa yang membuat Rahma tetap bersikukuh untuk berkata tidak. Tetapi tak berani. Ia mencoba sekali lagi, juga tak berhasil. Akhirnya dengan nyali nekad Husen berkata, “Rahma mengapa kamu keras kepala. Mengapa kamu membiarkan hubungan kita tak berkepastian. Tolong Rahma, jawab”.
Rahma diam tak melayani kekesalan Husen. Husen dinilai Rahma berlebihan dalam berteman. Rahma tak suka laki-laki seperti dia. Rahma lebih menyukai tipe lelaki yang kalem, sabar, yang di sorot matanya ada getar-getar kematangan dan kearifan. Rahma berfikir mengapa Husen terlalu tergesa-gesa padahal baru kenal seminggu yang lalu. Mengapa jauh-jauh dari kosnya di dekat kampus UNS menuju UMS hanya untuk mengulangi pernyataan yang sama. “Ini pekerjaan sia-sia”, pikir Rahma dalam hati.
Di mata Rahma, Husen tak lebih sebagai teman biasa. Husen, sebenarnya, laki-laki baik. Tetapi, dia labil dan kekanak-kanakan. Husen belum mampu membedakan antara teman dan kekasih. Teman dan kekasih, bagi Husen, itu setipis ujung rambut. Tak ada beda. Maklum Husen tak punya visi tentang arti sebuah cinta. Dia sering gonta-ganti pacar. Pagi tahu, sore tempe. Dengan wajahnya yang tampan dan kaya, dia bisa melakukan apa saja. Husen tak memiliki kemampuan untuk menggunakan pilihan-pilihan moralnya. Sebuah anugerah Allah yang amat berharga dan dengannya manusia bisa naik ke derajat malaikat dan bahkan mampu melampauinya.
Namun bagi Rahma, teman dan kekasih sangatlah beda. Teman adalah sahabat yang memiliki batas-batasnya sendiri. Sedang kekasih adalah teman spesial yang di dalamnya ada pengorbanan tertentu. Teman adalah tahap awal menuju kekasih. Sementara kekasih adalah tahap berikutnya yang sangat mungkin berlanjut ke pernikahan. Di titik inilah perbedaan persepsi terjadi antara Rahma dan Husen.
“Rahma aku mau bicara”, pinta Husen suatu kali. “Rahma aku minta pengertianmu, sungguh”, lanjut Husen. “Boleh, kita cari tempat di serambi masjid ya”, jawab Rahma dengan penuh arif. Husen lega dan berjalan menuju serambi mesjid di dekat kampus. Rahma punya kebiasaan untuk tidak berduaan di tempat-tempat sepi dengan laki-laki bukan muhrimnya. Rahma sadar bahwa kehormatan wanita adalah segala-galanya. Salah satu menjaga kehormatan adalah menghindari hal-hal yang tidak pantas dilakukan seperti berduaan di tempat sepi.
“Apa yang harus kita bicarakan Husen”, kata Rahma berwibawa. Kali ini jantung Husen berdegub keras. Wajah Rahma yang cantik dan penuh wibawa membuat Husen merasa runtuh di hadapannya. Ya runtuh seperti runtuhnya pohon tertimpa angin topan. Rahma adalah seorang mahasiswi dengan segudang prestasi. Banyak lelaki yang ingin mendekatinya. Tetapi, Rahma tetap cuek dan biasa-biasa sehingga teman-teman laki-lakinya satu persatu mundur. Hanya Husen yang bandel dan selalu mengejarnya. Kepercayaan diri Husen terlalu tinggi. Mungkin karena dia orang kaya dan memiliki wajah tampan.
“Apa ya”, jawab Husen gugup. “Saya mau tanya bagaimana menurutmu pacaran dalam Islam”, tanya Husen ragu. “Pacaran seperti apa?”, tanya Rahma kritis. “Kita perlu terlebih dahulu mendefinisikan makna pacaran”, lanjut Rahma meyakinkan. “Islam itu selalu melihat aspek maslahat dan madharatnya”, lanjut Rahma. “Maksudku pacaran kaya remaja sekarang. Jalan-jalan ke mal-mal, nonton filem bareng, boncengan, dan…”, Husen tak melanjutkan. “Berdua-duaan di tempat sepi”, sergap Rahma dengan nada agak tinggi. “Kalau pacaran seperti ini maka diharamkan”, kata Rahma. “Madharatnya lebih banyak ketimbang maslahatnya. Islam dan agama apa pun melarang pacaran yang mengundang resiko seperti hamil di luar nikah, aborsi, dan lain-lain”, lanjut Rahma.
“Ya itulah sebabnya saya ingin serius dengan kamu agar terhindar dari asusila”, jawab Husen. Rahma terperanjat dengan keluguan Husen. Dengan muka agak merah Rahma mencoba tenang dan menjawab, “Kita masih muda Husen. Kita baru saja semester I. Banyak tugas yang harus kita selesaikan. Banyak hal agung yang harus kita kerjakan”, kata Rahma dewasa. “Saya punya cita-cita tinggi dan untuk meraihnya diperlukan kesungguhan luar biasa. Itulah sebabnya saya selalu menghindari pertemanan yang menjurus ke arah serius. Maafkan Husen aku tak mau”, lanjut Rahma dengan perasaan tak enak.
Kali ini Husen kena batunya. Untung suara adzan Dzuhur mengalun. Husen terselamatkan dari rasa malu. Dengan hati tertahan Husen berdiri dan melangkah gontai ke arah tempat wudhuk. Rahma pun berdiri dan menuju tempat wudhuk wanita di sisi sebelah kanan. Rahma merasa tak enak menolak cinta Husen untuk kedua kalinya. Hati kecilnya tak kuat menyakiti temannya sendiri. Tapi inilah jawaban yang harus diungkapkan dengan penuh keberanian. Setelah usai salat, Rahma pergi menyelinap di kerumunan jamaah lain. Sementara Husen duduk dengan pikiran kosong setengah putus asa sebelum akhirnya pulang dengan sepeda motornya.
Husen pun kini tambah percaya bahwa Rahma adalah gadis kokoh yang memiliki pertahanan kuat. Garis-garis keimanan Rahma membuat Husen harus belajar tentang kehidupan, tentang tantangan, dan tentang cara menaklukkan tantangan itu. Husen juga harus belajar bahwa kehidupan tak selamanya mulus. Kehidupan selalu saja mengalami pasang surut. Kadang riuh dan kadang rendah. Tetapi semua itu mengajarkan kearifan; mengajarkan keagungan; dan mendorong gerak-gerak kebangkitan.
Bagi Rahma, inilah pengalaman pertama menolak cinta. Pembawaannya yang selalu cuek pada laki-laki membuat dia tidak mudah diganggu. Tetapi Husen terlalu percaya diri dan mencoba masuk ke jantung cinta Rahma. Bukan maksud Rahma untuk bersikap munafik. Bukan pula maksud Rahma untuk mengesampingkan cinta sebagai sebuah anugerah Allah yang agung. Tetapi, bagi Rahma cinta adalah sakral dan terlalu agung untuk diteledorkan. Cinta bukan untuk dibuang, tetapi dirawat dengan sebaik-baiknya sehingga melahirkan kebaikan-kebaikan. Persepsi inilah yang dipegang Rahma. Tapi, Husen belum bisa memahami definisi cinta yang dianut Rahma. Husen memahami cinta secara hitam dan putih. Cinta bagi Husen adalah sebagaimana yang diartikan kalangan remaja sekarang yang ujung-ujungnya pergaulan bebas dan seks bebas.
Pandangan Husen tentang cinta sangat liberal. Sementara pandangan Rahma sangat konservatif. Pertarungan antara dua pandangan ini berakhir dengan penolakan cinta Rahma pada Husen. Rahma pun menyadari bahwa meski memiliki wawasan luas tentang kemodernan, ia tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama. Bagi Rahma, modern tidak harus bebas tanpa batas. Modern adalah tantangan untuk tetap kokoh di atas nilai-nilai kepatutan agama dan kesopanan. Menjadi modern, karena itu, bukan berarti lebur menjadi satu tanpa identitas; tanpa ciri khas; dan tanpa pegangan. Menjadi modern justru harus mempertahankan nilai-nilai yang masih baik dan menggali secara terus-menerus nilai-nilai yang lebih baik. Inilah paham cinta yang dianut Rahma.
Dengan bacaan-bacaannya yang luas, Rahma telah melihat bahwa modernitas itu bersisi ganda. Baik dan buruk. Segi-segi yang baik dari modernitas harus dimanfaatkan untuk pencerahan hati dan akal. Sementara segi-segi yang buruk harus dijauhi dan bila mungkin harus diatasi. Bacaan-bacaan Rahma atas karya-karya sosiologi, psikologi, dan teori-teori sosial membuatnya memiliki kemampuan memilih antara yang baik dan buruk, termasuk dalam hal pergaulan. Pengetahuan agama yang digali lewat kisah-kisah agung para Nabi dan para sahabatnya juga telah menjadi roti makanan. Di sini Rahma jauh lebih unggul dibanding Husen.
Tak heran, jika di rak buku milik Rahma terdapat buku-buku serius. Buku-buku itu terdiri atas karya-karya besar dunia yang menjadi Grand Theory atau metanarasi seperti Max Weber, Ibnu Khaldun, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Talcott Parson, Robert N. Bellah, Francis Fukuyama, dan buku-buku lainnya. Memang tidak seluruh buku itu bisa dipahaminya, namun setiap kali ia menulis atau diskusi dengan teman-temannya sering merujuk pada buku-buku itu.
***
(Novel ini akan dimuat bersambung...), no. kontak 081586561136 email: mudhofir1527@gmail.com