Sabtu, 25 April 2009

Keyword, Religion and Politics of Disaster

By: Mudhofir Abdullah
Lecturer at State Islamic Religion Higher School (STAIN) Surakarta
Flood in Jakarta
Response after the flood disaster
Socio-economy-politics-culture resources in facing the disaster
The definition of politics of disaster
Suprastructure level
Main concept of mitigation
Pioneering and leadershipResponsibility of government
Prohibition of big number of victims
The role of religion
Environmental damage
Human morality and human behavior
Mary Evelyn Tucker, ecology expert and environmental activist, Buckel University, Pennsylvania
The need of ethics and values
Indonesia as the religious nation
Islam, Christian, Catholic, Hind, Budha Potential power
Disaster is not God punishment
January 24, 2008
Friday 16 February 2007

Islam dan Konservasi Alam

Oleh: Mudhofir Abdullah
(Candidate Doctor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Bagai bola salju, isu-isu tentang lingkungan terus mendapatkan perhatian semakin luas. Nobel Perdamaian tahun ini pun dianugerahkan pada sosok pemerhati lingkungan, yakni Albert Gore. Agama-agama besar dunia sejak Deklarasi Stockholm pada Juni 1972 juga diarahkan untuk membantu menopang kesadaran pelestarian lingkungan melalui eksplorasi ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran agama dan spiritual dianggap mampu memperkuat kesadaran umat manusia untuk mengimplementasikan tugas-tugas perlindungan lingkungan, juga mampu memperkaya konsep-konsep hukum tentang kesinambungan ekologi.Harus kita sadari bahwa kondisi lingkungan global yang kian memburuk dan kritis tidak cukup hanya diatasi dengan seperangkat peraturan hukum dan undang-undang sekuler, tetapi juga perlu kesadaran otentik dari relung-relung batin setiap individu yang wujudnya adalah nilai-nilai moral dan agama.Nilai-nilai ini dipercaya memiliki kemampuan tinggi dalam memengaruhi world-view pemeluknya dan menggerakkan dengan amat kuat perilaku-perilaku mereka dalam kehidupan. Karena itu, dalam konteks umat beragama, kepedulian terhadap lingkungan amat tergantung pada bagaimana aspek-aspek ajaran agama mengenai lingkungan disajikan dan dieksplorasi oleh para elitenya dengan bahasa serta idiom-idiom modern dan ekologis.Di era modern, ketika kehidupan manusia dan masalah-masalahnya begitu kompleks, peran agama sangat dibutuhkan untuk memberi topangan nilai. Agama tidak lagi hanya berkutat pada masalah-masalah spiritual dan eskatologis, tetapi juga harus beranjak ke aspek-aspek riil masyarakat pemeluknya.Caranya adalah dengan menanamkan nilai-nilai moral sehingga manusia memiliki kemampuan tinggi untuk mengatasi masalah-masalahnya dengan tanpa merusak harmoni dengan lingkungannya. Dengan nilai-nilai moral agama, manusia memiliki kecakapan mengatasi dan ketajaman membaca tanda-tanda zaman berikut kemampuan menciptakan seperangkat nilai untuk melestarikannya seperti hukum dan sejumlah peraturan.Urgensi fikih lingkungan Dalam konteks hukum Islam, pelestarian lingkungan, dan tanggung jawab manusia terhadap alam banyak dibicarakan. Hanya, dalam pelbagai tafsir dan fikih, isu-isu lingkungan hanya disinggung dalam konteks generik dan belum spesifik sebagai suatu ketentuan hukum yang memiliki kekuatan menggetarkan. Fikih-fikih klasik telah menyebut isu-isu tersebut dalam beberapa bab yang terpisah dan tidak menjadikannya buku khusus. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini.Namun, kini para intelektual Islam telah memperluas ruang lingkup kajiannya pada isu-isu modern tersebut dalam karya-karya mereka. Ini menandai adanya sense of future dari para ulama untuk memperbesar kapasitas peran hukum Islam dalam kehidupan modern. Islam disadari harus mampu berbicara di panggung dunia dalam isu-isu kemanusiaan dan lingkungan, sehingga perannya tidak lagi terbatas dan eksklusif. Kesadaran untuk melakukan transformasi fikih Islam tidak lahir dari luar, tetapi tumbuh secara organik dari dalam berupa pesan-pesan universal syariah yang selama ini masih tertunda implementasinya dan belum dieksplorasi secara optimal.Karena itu, kebutuhan untuk memperluas kapasitas hukum Islam dalam masalah-masalah modern bukanlah suatu hal yang asing dan aneh. Maksimalisasi peran hukum Islam bisa dilakukan tanpa hambatan teologis. Bahkan ia merupakan bagian integral dari sejarah perkembangan hukum Islam yang menyertai peradaban Muslim. Upaya mengembangkan fiqh al bi'ah (fikih lingkungan) dan merumuskannya ke dalam kerangka-kerangka yang lebih sistematik merupakan sebuah keniscayaan.Pengembangan fikih lingkungan kini bisa menjadi suatu pilihan penting di tengah krisis-krisis ekologis secara sistematis oleh keserakahan manusia dan kecerobohan penggunaan teknologi. Islam sebagai agama yang secara organik memerhatikan manusia dan lingkungannya memiliki potensi amat besar untuk memproteksi bumi. Dalam Alquran sendiri kata 'bumi' (ardh) disebut sebanyak 485 kali dengan arti dan konteks yang beragam. Bahkan kata syariah yang sering dipadankan dengan hukum Islam memiliki arti 'sumber air' di samping bermakna 'jalan'. Dalam konteks perlindungan lingkungan, makna syariah bisa berarti sumber kehidupan yang mencakup nilai-nilai etik dan hukum.Komponen-komponen lain di bumi dan lingkungan juga banyak disebutkan dalam Alquran dan hadis. Sebagai contoh, manusia sebagai pusat lingkungan yang disebut sebagai khalifah terdapat dalam QS 2:30; segala yang di langit dan di bumi ditundukkan oleh Allah kepada manusia QS 45:13; dan sebagainya. Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di bumi.Meski ayat-ayat tersebut lebih bersifat antroposentris (manusia sebagai penguasa alam), namun ada perintah untuk mengelolanya dengan segenap pertanggungjawaban. Konsep khalifah sebagaimana disebut dalam QS 2:30 bermakna responsibility. Makna sebagai wakil Tuhan di muka bumi hanya akan berlaku jika manusia mampu melestarikan bumi sehingga seluruh peribadatan dan amal sosialnya dapat dengan tenang ditunaikan. Ini masuk akal karena suatu ibadah atau pengabdian kepada Allah dan manusia tidak dapat dilakukan jika lingkungan buruk dan atau rusak.Dalam kerangka pemikiran tersebut, maka melindungi dan merawat lingkungan merupakan suatu kewajiban setiap Muslim dan bahkan menjadi tujuan pertama syariah. Mustafa Abu Sway (1998) menyatakan bahwa menjaga lingkungan merupakan tujuan tertinggi. Gagasan Mustafa Abu Sway tersebut dapat dianggap sebagai suatu terobosan ijtihad tentang pelestarian lingkungan berdasarkan tujuan syariah.Muatan-muatan fikih klasik yang membahas tema-tema lingkungan secara terpisah dan abstrak perlu diberi bobot-bobot ekologis. Seperti dapat dibaca, dalam fikih klasik ada bab-bab seperti al taharah (bersuci), al shaid (berburu), ihya' al mawat (memanfaatkan tanah mati), al 'at`imah (hukum tentang makanan), al ssyribah (hukum tentang minuman), dan lain-lain. Tema-tema ini merupakan bagian dari kajian lingkungan. Tema-tema ini bisa diperluas dengan tema-tema lain yang terkait dan selanjutnya dinaikkan menjadi suatu hukum lingkungan Islam atau fiqh al bi'ah.Keterlibatan sejumlah negara Islam dalam sejumlah program aksi global tentang perlindungan lingkungan membuat Islam harus memainkan peran penting melalui kontribusi-kontribusi pemikirannya. Fikih lingkungan bisa menjadi pintu masuk ke arah penguatan kapasitas perannya itu. Bukan saja untuk memperbaiki kualitas perlindungan lingkungan di negara-negara Muslim itu sendiri, fikih lingkungan juga untuk menopang gerakan global dalam masalah pembangunan berkesinambungan. Dalam arti inilah, fikih lingkungan bisa menjadi milestone bagi penguatan kapasitas hukum Islam dalam kehidupan modern.
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, Jumat 2 Nopember 2007

Spiritualitas Dalam UNCCC

Oleh : Mudhofir Abdullah
Dosen STAIN Surakarta, Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bumi yang kita huni, keadaannya, meminjam Seyyed Hossein Nasr (1968), kini sangat terluka dan berdarah-darah. Peradaban industrial selama berabad-abad telah menyebabkan bumi menjadi anak yatim yang terlantar. Ia kini kian rusak oleh pandangan sekuler dan hedonistik manusia tentang alam yang terus mengkhutbahi untuk mengeksploitasinya. Perubahan-perubahan iklim pun terjadi begitu cepat dan tak terkendali yang menyebabkan bumi tak ramah lagi pada penghuninya. Tak heran jika bencana-bencana kerap datang mengancam.
Bumi yang sedang kritis inilah yang menjadi tema pokok perbincangan dalam Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim (UNCCC atau United Nation Climate Change Conference) di Nusa Dua Bali yang dijadwalkan berakhir hari ini. Acara ini dihadiri setidaknya 10 ribu peserta (termasuk para pemantau lingkungan) dari 185 negara. Kehadiran mereka di Bali sangat menentukan detik-detik yang sangat penting bagi masa depan kelangansungan bumi dengan keseluruhan eksosistem yang menghuninya.
Peristiwa profetikHajatan akbar ini, sungguh, merupakan peristiwa agung dan profetik yang merefleksikan kepedulian global, terlepas dari sekat-sekat agama, bangsa, bahasa, dan ras. Perbedaan itu disatukan oleh kepentingan bersama untuk masa depan kelangsungan kehidupan di muka bumi yang kian tua renta ini. Tak ada pilihan lain bagi manusia selain melakukan tindakan preventif untuk menghentikan atau memperlambat perubahan iklim yang terus berlangsung. Kesadaran bersama ini hendak mencari konsensus-konsensus baru tentang respons dan tindakan yang harus dilakukan terhadap nasib bumi yang merupakan pusaka bersama.
Konferensi Perubahan Iklim ini merefleksikan sebuah kesadaran profetik. Artinya, ia didorong bukan saja oleh kondisi objektif bumi yang kian kritis, tetapi juga didorong oleh naluri kenabian yang tergali dari renungan-renungan spiritual. Mereka tidak egois untuk menghabiskan sumber-sumber kehidupan bumi hari ini, tetapi berpikir untuk kelangsungan generasi yang akan datang. Mereka memikirkan akibat-akibat kerusakan bumi bila pandangan-pandangan sekuler mereka tetap dipertahankan. Di sini, tampaknya, manusia masih memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan-pilihan moralnya. Ini adalah sebuah anugerah Tuhan yang terbesar dan tak pernah dimiliki makhluk lainnya.
Krisis bumi yang kian parah dengan gejala-gejalanya yang telah menimpa banyak korban, telah mendorong manusia untuk melihat ke dalam. Melihat ke kesadaran Ilahiah yang dengannya pilihan-pilihan moral terdorong untuk berharmoni dengan alam. Kearifan lokal, kearifan spiritual, dan kearifan agama tengah dicari lagi untuk keperluan menopang pandangan sakral terhadap alam itu. Khazanah kearifan yang dimiliki banyak agama dan budaya dianggap mampu menopang tugas-tugas profetik untuk merawat bumi dan mengerem perubahan iklim yang ekstrem. Khazanah ini harus digali dan di saat yang sama menjadi paradigma baru manusia dalam memperlakukan bumi serta alam.
Ini perlu menjadi kesadaran bersama karena menurut Mary Evelyn Tucker (1994) tidak ada satu tradisi agama atau perspektif folosofis pun yang mempunyai solusi ideal bagi krisis-krisis lingkungan. Menyadari hal ini, UNCCC di Bali mengisyaratkan kehendak tersebut. Mereka bahu-membahu menemukan konsep-konsep utama untuk menyelamatkan bumi dari krisis-krisis sistematik yang berkelanjutan. Mereka sejenak melupakan konflik dan perbedaan demi merengkuh tujuan jangka panjang bersama.
Bumi adalah pusaka bersama. Tempat manusia lahir, hidup, dan mati. Sebagai pusaka bersama umat manusia, tak seorang pun berhak memilikinya dalam arti mutlak. Manusia hanyalah entitas yang hanya dipinjami untuk memanfaatkan dan mengelolannya. Karena itu, setiap pemanfaatan bumi di pundaknya melekat tanggung jawab perawatannya. Kata 'pusaka bersama' juga mensyaratkan manusia berpikir global dan bertindak lokal. Apa yang diperbuatnya harus dipertimbangkan apakah ia memiliki dampak-dampak buruk bagi yang lain. Tindakan hari ini harus memerhatikan akibat-akibat di kemudian hari, yakni bagi kelangsungan generasi yang akan datang. Jelas bahwa pertimbangan-pertimbangan semacam ini adalah suatu pilihan moral amat agung. Kita diajarkan kearifan-kearifan tinggi dari semangat moral sebagaimana tercermin dari 'jiwa spiritual' UNCCC itu.
Bersikap arif terhadap bumi bukan berarti membiarkan ia tak berguna. Meng-arifi bumi terkandung pesan memanfaatkan dengan penuh tanggung jawab merawatnya. Artinya, kita menempatkan posisi manusia secara harmonis dengan alam. Juga mengharuskan manusia mengembangkan penglihatan holistik, meninjau isi alam dalam hubungan saling keterkaitan antara komponen lingkungan dan komponen lainnya. Wawasan interdependensi ini perlu dikembangkan sebagai prakondisi bagi pendekatan pembangunan berwawasan lingkungan.
Menyembuhkan lukaPerubahan paradigma tentang alam diharapkan berdampak pada perubahan cara memperlakukan bumi. Krisis bumi adalah artikulasi dari krisis spiritual. Maka tugas awal dari UNCCC di Bali adalah menyebarkan informasi hasil-hasil keputusannya ke seluas-luasnya masyarakat agar benar-benar mengendap dalam pikiran dan persepsi publik global. Bila perlu dilekatkan dalam setiap doktrin ajaran agama, kepercayaan, dan spiritualitas yang dimiliki bangsa-bangsa. Ini penting karena undang-undang dan hukum sekuler dianggap tidak memadahi lagi untuk memproteksi bumi dari pandangan-pandangan sekuler yang memisahkan alam dari status sakralnya.
Kearifan para pemimpin dunia juga punya peranan sangat penting. Mereka adalah sosok-sosok yang bisa mengubah dunia karena punya kekuatan sumber daya-sumber daya politik dan ekonomi untuk itu. Para aktor dunia ini harus menjadi variabel dalam aksi global penyelamatan bumi. Sejarah bangsa-bangsa, baik yang sudah punah maupun yang masih bertahan, seringkali terkait dengan keputusan seorang pemimpin. Para pemimpin adalah sekelompok elite yang keputusan-keputusannya mempengaruhi perubahan-perubahan dunia, positif maupun destruktif.
Karena itu, Barat, terutama Amerika Serikat, harus mematuhi Protokol Kyoto. Selama ini, AS menolak Protokol Kyoto bersama Australia dari negara maju karena alasan politik dan ekonomi dalam negeri. Keputusan politik AS dan Australia sebagai negara besar tentang konservasi bumi akan sangat mempengaruhi percepatan implementasinya. Australia, di pihak lain, menebarkan kepak-kepak sayap harapan dengan kemenangan Kevin Rudd sebagai Perdana Menteri Baru bagi program konservasi ini. Kevin Rudd menang di antaranya karena mengangkat isu-isu lingkungan dan begitu terpilih dia memang kemudian meratifikasi Protokol Kyoto.
Respons masyarakat dunia tentang perubahan iklim yang kian mengerikan mengharuskan matra-matra politik, ekonomi, agama, dan spiritualitas bersinergi. Kombinasi matra-matra itu akan kian ampuh dalam memproteksi bumi yang sedang sakit parah ini. Harapan untuk sembuh dari luka bumi pun kian menemukan maknanya kembali dengan getar-getar spiritualitas dalam UNCCC itu.
Ikhtisar
- Konferensi tentang Perubahan Iklim di Bali menjadi salah satu bentuk kesadaran profetik manusia sebagai khalifah di muka bumi.- Selain mendayagunakan, manusia juga memiliki tanggung jawab untuk merawat kelestarian dan keseimbangan alam.- Usai konferensi tersebut diharapkan muncul kesadaran baru umat manusia untuk menjaga bumi.
Sumber: Republika Online

Krisis Spiritual Tragedi Situ Gintung

Oleh: Mudhofir Abdullah

Tsunami kecil yang terjadi di pagi buta, Situ Gintung Tangerang menewaskan banyak korban. Tragedi itu mengagetkan dan menyentak tanda tanya kita. Mengapa tanggul di tengah kepadatan penduduk itu jebol dan tidak ada peringatan dini? Mengapa korbannya begitu besar? Siapa yang bertanggung jawab? Pertanyaan ini bukan mencari kambing hitam, tapi ingin mencari tahu mengapa 'tanda-tanda zaman' jebolnya tanggul tidak terdeteksi oleh para pejabat di wilayah itu atau oleh otoritas yang bertanggung jawab.Keberadaan tanggul yang posisinya lebih tinggi dari perkampungan padat adalah sebuah 'ancaman bahaya' yang kasat mata. Ia merupakan bom waktu yang kapan saja bisa menjadi 'malaikat maut' bila diabaikan atau tidak memperoleh perhatian penjagaannya. Apalagi, sudah diketahui sebelumnya bahwa tanggul Situ Gintung itu ada retakan dan pernah diperbaiki.Sikap abai atau sikap meremehkan masalah lingkungan adalah sebuah bencana. Sikap semacam ini memperlihatkan sifat manusia yang merendahkan alam. Merendahkan ciptaan Allah (alam) yang seharusnya disyukuri sebagai mitra kehidupan adalah cermin dari kesombongan manusia yang lebih berorientasi kepada kepentingan diri manusia. Lingkungan alam adalah ayat-ayat (pertanda) Allah yang harus dibaca dan bukan untuk dieksploitasi. Membaca ayat-ayat alam berarti merawat dan menghormatinya seperti merawat dan menghormati diri kita.Bencana Situ Gintung adalah akibat kelalaian kita dalam memperlakukan lingkungan alam itu. Kita tidak bersyukur pada kebaikan-kebaikan lingkungan yang diberikan Allah, tapi malah bersikap kufur atau cover (tertutup) untuk memerhatikannya. Jebolnya Situ Gintung adalah respons alam pada sikap kita yang tak lagi peduli dan bersyukur. Kitab suci agama-agama besar dunia, termasuk Alqur'an, telah memberi peringatan agar memperlakukan alam dengan baik sebagai cara kita bersyukur (QS Al-A'raf [7]: 56). Lingkungan alam adalah mitra kita dalam hidup. Karena itu, kita harus mengakrabinya. Hubungan manusia dengan lingkungan alam adalah hubungan etis dan sakral. Itulah sebabnya relasi itu harus membentuk atau meminjam istilah Sachiko Murata 'keakraban yang berani' yang saling menasihati dan mengingatkan.Tragedi Situ Gintung dan bencana-bencana serupa harus dibaca sebagai retaknya relasi sakral dan etis antara manusia dan lingkungannya. Manusia telah menceraikan relasi suci itu dan memilih watak penaklukan atas lingkungan. Lingkungan bumi yang disebut sebagai gaia atau ibu ( mother ) telah dieksploitasi sehingga meninggalkan derita dan luka. Bencana-bencana itu menyimbolkan ketidaktahanan lingkungan atas penderitaan terus-menerus oleh watak penaklukan manusia melalui aktivitas-aktivitas penebangan hutan, perusakan lingkungan, industrialisasi ngawur dan sikap abai yang menyeluruh atas ayat-ayat Allah.Bencana-bencana juga mencerminkan sebuah krisis spiritual. Sebuah krisis yang mengikis ketajaman manusia dalam 'membaca tanda-tanda zaman'. Krisis spiritual mencaplok 'kesadaran' yang oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai ciptaan pertama. Kesadaran adalah ciptaan pertama yang menentukan perilaku-perilaku positif-konstruktif manusia terhadap ciptaan lainnya. Krisis spiritual melemahkan kesadaran dan krisis kesadaran melemahkan relasi suci manusia dan lingkungannya. Krisis spiritual menandai sebuah konstruksi yang oleh Marx I Wallace disebut sebagai the wounded spirit (spirit yang terluka). Dalam kondisi terluka, sebuah spirit tak lagi mampu merawat dirinya sendiri, apalagi merawat lingkungannya. Adakah kita termasuk bangsa yang sedang mengidap the wounded spirit ?Istilah kearifan lingkungan sangat relevan untuk kondisi bangsa yang terus dilanda bencana. Kearifan yang berasal dari kata 'arif' (Arab) berarti 'orang yang mengetahui'. Atau, arti bebasnya adalah orang yang pandai membaca tanda-tanda zaman. Dalam konteks lingkungan, kearifan memperlihatkan sebuah sikap spiritual yang reflektif, sadar, dan penuh penghormatan. Sikap semacam ini memperkuat basis-basis tindakan dan sikap konservatif terhadap lingkungan. Kearifan lingkungan meminjam ungkapan tradisi deep ecology adalah cermin dari the ecological wisdom by focusing on deep experience, deep questioning, and deep commitment (kearifan lingkungan yang berbasis pada komitmen, pertanyaan, dan pengalaman yang dalam atas lingkungan).Dalam Alquran, kemampuan membaca tanda-tanda zaman pernah dilakukan oleh Nabi Yusuf yang menakwilkan mimpi 'tujuh ekor sapi gemuk memakan tujuh ekor sapi kurus dan tujuh pohon anggur rimbun memakan tujuh pohon anggur layu' (QS Yusuf [12]: 43). Nabi Yusuf membacanya sebagai akan datang tujuh tahun masa sulit ( sab'un syidadun ) yang menghabiskan logistik dan sesudah itu akan datang musim baik (hujan). Visi Yusuf ini membekalinya untuk melakukan antisipasi-antisipasi dengan menyiapkan logistik dan segala sesuatunya untuk menghadapi masa sulit itu. Visi inilah yang menyelamatkan Yusuf AS dan kaumnya dari kelaparan dan kesulitan. Kisah Yusuf AS adalah kisah tentang kearifan lingkungan. Sebuah kisah yang menyajikan sikap sadar, spiritual, dan bersyukur atas karunia Allah dalam wujud keakraban yang berani terhadap alam lingkungannya. Visi kearifan lingkungan menghindarkan Nabi Yusuf dari bencana kelaparan dan ini menjadi pelajaran bagi umat-umat sesudahnya.Berlawanan dengan visi Nabi Yusuf AS itu adalah sikap-sikap abai terhadap lingkungan seperti yang diperlihatkan oleh manusia modern ini. Bencana-bencana itu bukan semata-mata karena alam, tetapi juga karena ulah kita yang tak peduli padanya. Kita terus melukai dan membebani kemampuan daya dukung lingkungan tanpa melihat dengan arif akibat-akibatnya. Redupnya daya baca kita atas tanda-tanda zaman (baca: ayat-ayat Allah) membuat makin redupnya manusia sebagai khalifatullah fil ardh . Jika ini terus-menerus berlangsung diidap oleh manusia, makna manusia sebagai 'wakil Tuhan' ( khalifatullah ) menjadi tidak relevan lagi. Kita mempertanyakan lagi posisi 'wakil Tuhan' karena kita tak lagi mampu membuat kebajikan-kebajikan buat lingkungan. Penegasan kembali kearifan lingkungan perlu dilakukan dan kini menemukan momentumnya sehingga lingkungan bumi menjadi tempat berlindung yang bersahabat. Sikap self-realization atau re-earthing (pembumian kembali) perlu dibangun untuk memperkuat topangan-topangan nilai dalam tindakan manusia atas lingkungannya.

Penulis: Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen STAIN Surakarta
Tulisan ini dimuat oleh Harian Republika, Senin 30 Maret 2009

Rabu, 22 April 2009

Mencari Pintu Masuk Bagi Dialog Peradaban


Oleh: Mudhofir Abdullah
(Candidate Doctor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Direktur Yayasan Azhary Jakarta)

Heboh. Penerbitan sebuah majalah di Denmark yang menghina Nabi Muhammad SAW menuai protes global. Dalam kartun itu, Nabi digambarkan membawa bom bak seorang teroris. Dunia pun dicekam ketakutan. Lima kantor Kedubes dibakar massa di Suriah dan Lebanon (Headline SOLOPOS, 6/2). Akankah isu penghinaan ini menjadi pertanda babak baru perang atau benturan ”Islam” dan ”Barat”?
Pernyataan Sekjen PBB Kofi Annan sangat simpatik. Kepada umat Islam, Annan mengimbau agar dunia Islam menerima permintaan maaf dari suratkabar yang memuat gambar Nabi Muhammad SAW tersebut. ”Saya mendesak kawan-kawan muslim untuk menerima permintaan maaf ini, atas nama Allah Yang Maha Pengasih,” imbau Annan (Detikcom, 4/2). Selanjutnya, Annan menyatakan bahwa kebebasan pers harus selalu diterapkan melalui penghormatan terhadap keyakinan agama dan ajaran seluruh agama (Kompas, 4/2).Apa yang dilakukan Kofi Annan sangat tepat. Kasus pelecehan terhadap seorang Nabi yang sangat dihormati umat Islam dan semua agama bukanlah isu sepele. Ia merupakan isu internasional dan dapat mengancam stabilitas global jika tidak segera direspons secara cepat dan bijak. Di tengah memanasnya ketegangan antara dunia Islam versus Barat pascatragedi WTC 11/9 dan aksi militer atas Afghanistan dan Irak, pelecehan oleh Majalah Jyllands-Posten (30 September 2005) yang kemudian direproduksi oleh media Barat baru-baru ini dapat ditafsirkan sebagai genderang perang. Alih-alih mengupayakan dialog peradaban, kasus kartun Muhammad itu justru kian mempertebal benturan peradaban.Tidak belajarSungguh, untuk kesekian kalinya dunia tak pernah belajar dari kasus-kasus yang menyangkut ultimate concern. Nabi, Kitab Suci, Tuhan (Allah) tempat-tempat ibadah (mesjid, gereja, pura, kelenteng) adalah simbol-simbol sakral yang harus dirawat dari perusakan atau pelecehan. Semua agama dan pemeluknya sangat mengerti dan menghormati simbol-simbol tersebut. Simbol menurut Mircea Eliade (1907-1986) adalah entitas yang menghadirkan dunia sebagai totalitas yang hidup; yang meremajakan dunia secara terus-menerus, kaya, penuh kekuatan dan tak habis-habisnya. Tak heran, jika suatu simbol sakral diganggu atau dilecehkan akan menimbulkan reaksi sangat keras. Masih segar dalam ingatan kita kasus pemberitaan Newsweek tentang pelecehan Alquran oleh tentara AS di Penjara Guantanamo Mei tahun lalu. Pelecehan ini mengundang ribuan bahkan jutaan protes umat Islam di seluruh dunia. Bahkan aksi protes massa umat Islam di Pakistan memakan korban tewas 15 orang. Kita juga ingat hebohnya novel Salman Rushdie the Satanic Verses tahun 1988 yang juga melecehkan Nabi, Alquran dan umat Islam. Ketegangan dunia meningkat ketika pemimpin spiritual Khomeini dari Iran menghukum mati Rushdie tahun 1989 dengan hadiah 1 miliar kepada siapa saja yang bisa membunuhnya.Di Indonesia, kita diingatkan oleh kasus poling Monitor tahun 1990 yang hampir menyeret kerusuhan sosial. Poling Monitor tentang tokoh-tokoh idola yang dimotori oleh Arswendo dianggap melecehkan Muhammad SAW, karena poling itu sembrono dalam metode sehingga hasilnya menempatkan Muhammad di bawah Arswendo sendiri.Kita tentu menyesalkan reaksi berlebihan. Tetapi kita juga menyesalkan mengapa terhadap simbol-simbol sakral agama tidak berhati-hati? Mengapa dunia tak belajar dari kasus-kasus sejenis? Bagi sebagian besar masyarakat AS dan Barat, boleh jadi simbol-simbol bahkan agama itu sendiri tak dianggap penting. Sekularisasi massif peradaban Barat menyebabkan ranah agama tak lagi dominan dan menentukan. Tetapi bagi peradaban Timur, simbol-simbol dan agama masih menjadi aspek penting dalam kehidupan. Ia masih kuat, yang meminjam Paul Tilich (1887-1965) dalam Dynamics of Faith (1957) disebut sebagai suatu ultimate concern (titik dasar tertinggi dan terakhir).Ide multikulturalisme yang dikembangkan Barat menegaskan harus dilakukan dalam batas-batas keadaban (within the bonds of civility). Dialog peradaban, karena itu, masih menjadi agenda yang tetap relevan bagi dunia untuk mengurangi ketegangan. Dialog peradaban mensyaratkan adanya sikap saling menghargai. Penghinaan terhadap unsur-unsur peradaban, seperti agama dan kepercayaan, berarti sebuah pelanggaran. Dan ia mencerminkan sebuah kondisi uncivilized (tak berkeadaban). Barat harus tegas mengutuk keras pelecehan terhadap salah satu unsur peradaban itu. Sebuah dialog tak bisa efektif jika prinsip dasarnya, yaitu sikap saling menghormati, dilanggar.Kasus kartun Nabi Muhammad bisa menjadi pintu masuk bagi dialog peradaban. Kecaman Sekjen PBB dan sejumlah petinggi negara AS dan Eropa pada kasus itu bisa sedikit mengobati dunia Islam yang tercederai. Dunia Islam pun diharapkan tidak menggunakan kekerasan dalam melakukan reaksi. Dialog dan diplomasi merupakan pilihan bijak untuk meredam ketegangan ini.Saya percaya, meski sejarah panjang tak pernah dapat terhindar dari benturan-benturan antarperadaban, namun selalu ada juga ada faktor-faktor integratif yang bersifat universal. Yakni kian terwujudnya kesadaran dan hati nurani global yang tak terikat oleh peradaban tertentu, tapi mewakili jatidiri sebagai manusia, terlepas dari perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Artinya laksana puncak gundukan pasir runtuh yang selalu mencari keseimbangannya, maka potensi konflik antara dua peradaban itu selalu direm oleh potensi lawannya, yaitu potensi berdamai, berkonsensus, dan bekerjasama.Ada isu-isu strategis yang dihadapi bersama oleh semua umat manusia di planet bumi, yaitu krisis ekologi, ancaman nuklir, kemiskinan, pelanggaran HAM, korupsi dan lain-lainnya. Umat beragama dan umat manusia sedang berada dalam ancaman krisis-krisis itu. Bila kasus-kasus pelecehan pada agama selalu terjadi, maka energi akan terkuras secara percuma. Dalam konteks domestik, kasus Kartun Nabi Muhammad SAW membawa hikmah. Kasus ini mengajarkan kepada masyarakat Indonesia yang majemuk untuk tidak mengusik, melecehkan, dan bermain-main dengan agama dan simbol-simbolnya. Semua agama yang hidup di Indonesia, dengan kasus itu, diharapkan tidak terganggu. Tetapi justru kian menumbuhkan solidaritas sebagai sesama bangsa.Meski demikian, kasus Kartun Nabi Muhammad SAW, tidak berarti membungkam kebebasan pers dan berekspresi. Sejauh berada dalam koridor kode etik dan kesediaan untuk menghormati keunikan sebuah agama berikut simbol-simbolnya, maka freedom of opinion and expression tak menjadi soal. Kini kian disadari bahwa dalam sebuah dunia yang kian tembus pandang, tanggung jawab media (massa maupun elektronik) sungguh sangat mulia dan besar dalam memberi pencerahan serta nilai-nilai solidaritas global. - *) Tulisan ini pernah dimuat oleh SOLOPOS. Penulis dapat dikontaka pada mudhofir1527@gmail.com atau 081586561136