Sabtu, 25 April 2009

Krisis Spiritual Tragedi Situ Gintung

Oleh: Mudhofir Abdullah

Tsunami kecil yang terjadi di pagi buta, Situ Gintung Tangerang menewaskan banyak korban. Tragedi itu mengagetkan dan menyentak tanda tanya kita. Mengapa tanggul di tengah kepadatan penduduk itu jebol dan tidak ada peringatan dini? Mengapa korbannya begitu besar? Siapa yang bertanggung jawab? Pertanyaan ini bukan mencari kambing hitam, tapi ingin mencari tahu mengapa 'tanda-tanda zaman' jebolnya tanggul tidak terdeteksi oleh para pejabat di wilayah itu atau oleh otoritas yang bertanggung jawab.Keberadaan tanggul yang posisinya lebih tinggi dari perkampungan padat adalah sebuah 'ancaman bahaya' yang kasat mata. Ia merupakan bom waktu yang kapan saja bisa menjadi 'malaikat maut' bila diabaikan atau tidak memperoleh perhatian penjagaannya. Apalagi, sudah diketahui sebelumnya bahwa tanggul Situ Gintung itu ada retakan dan pernah diperbaiki.Sikap abai atau sikap meremehkan masalah lingkungan adalah sebuah bencana. Sikap semacam ini memperlihatkan sifat manusia yang merendahkan alam. Merendahkan ciptaan Allah (alam) yang seharusnya disyukuri sebagai mitra kehidupan adalah cermin dari kesombongan manusia yang lebih berorientasi kepada kepentingan diri manusia. Lingkungan alam adalah ayat-ayat (pertanda) Allah yang harus dibaca dan bukan untuk dieksploitasi. Membaca ayat-ayat alam berarti merawat dan menghormatinya seperti merawat dan menghormati diri kita.Bencana Situ Gintung adalah akibat kelalaian kita dalam memperlakukan lingkungan alam itu. Kita tidak bersyukur pada kebaikan-kebaikan lingkungan yang diberikan Allah, tapi malah bersikap kufur atau cover (tertutup) untuk memerhatikannya. Jebolnya Situ Gintung adalah respons alam pada sikap kita yang tak lagi peduli dan bersyukur. Kitab suci agama-agama besar dunia, termasuk Alqur'an, telah memberi peringatan agar memperlakukan alam dengan baik sebagai cara kita bersyukur (QS Al-A'raf [7]: 56). Lingkungan alam adalah mitra kita dalam hidup. Karena itu, kita harus mengakrabinya. Hubungan manusia dengan lingkungan alam adalah hubungan etis dan sakral. Itulah sebabnya relasi itu harus membentuk atau meminjam istilah Sachiko Murata 'keakraban yang berani' yang saling menasihati dan mengingatkan.Tragedi Situ Gintung dan bencana-bencana serupa harus dibaca sebagai retaknya relasi sakral dan etis antara manusia dan lingkungannya. Manusia telah menceraikan relasi suci itu dan memilih watak penaklukan atas lingkungan. Lingkungan bumi yang disebut sebagai gaia atau ibu ( mother ) telah dieksploitasi sehingga meninggalkan derita dan luka. Bencana-bencana itu menyimbolkan ketidaktahanan lingkungan atas penderitaan terus-menerus oleh watak penaklukan manusia melalui aktivitas-aktivitas penebangan hutan, perusakan lingkungan, industrialisasi ngawur dan sikap abai yang menyeluruh atas ayat-ayat Allah.Bencana-bencana juga mencerminkan sebuah krisis spiritual. Sebuah krisis yang mengikis ketajaman manusia dalam 'membaca tanda-tanda zaman'. Krisis spiritual mencaplok 'kesadaran' yang oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai ciptaan pertama. Kesadaran adalah ciptaan pertama yang menentukan perilaku-perilaku positif-konstruktif manusia terhadap ciptaan lainnya. Krisis spiritual melemahkan kesadaran dan krisis kesadaran melemahkan relasi suci manusia dan lingkungannya. Krisis spiritual menandai sebuah konstruksi yang oleh Marx I Wallace disebut sebagai the wounded spirit (spirit yang terluka). Dalam kondisi terluka, sebuah spirit tak lagi mampu merawat dirinya sendiri, apalagi merawat lingkungannya. Adakah kita termasuk bangsa yang sedang mengidap the wounded spirit ?Istilah kearifan lingkungan sangat relevan untuk kondisi bangsa yang terus dilanda bencana. Kearifan yang berasal dari kata 'arif' (Arab) berarti 'orang yang mengetahui'. Atau, arti bebasnya adalah orang yang pandai membaca tanda-tanda zaman. Dalam konteks lingkungan, kearifan memperlihatkan sebuah sikap spiritual yang reflektif, sadar, dan penuh penghormatan. Sikap semacam ini memperkuat basis-basis tindakan dan sikap konservatif terhadap lingkungan. Kearifan lingkungan meminjam ungkapan tradisi deep ecology adalah cermin dari the ecological wisdom by focusing on deep experience, deep questioning, and deep commitment (kearifan lingkungan yang berbasis pada komitmen, pertanyaan, dan pengalaman yang dalam atas lingkungan).Dalam Alquran, kemampuan membaca tanda-tanda zaman pernah dilakukan oleh Nabi Yusuf yang menakwilkan mimpi 'tujuh ekor sapi gemuk memakan tujuh ekor sapi kurus dan tujuh pohon anggur rimbun memakan tujuh pohon anggur layu' (QS Yusuf [12]: 43). Nabi Yusuf membacanya sebagai akan datang tujuh tahun masa sulit ( sab'un syidadun ) yang menghabiskan logistik dan sesudah itu akan datang musim baik (hujan). Visi Yusuf ini membekalinya untuk melakukan antisipasi-antisipasi dengan menyiapkan logistik dan segala sesuatunya untuk menghadapi masa sulit itu. Visi inilah yang menyelamatkan Yusuf AS dan kaumnya dari kelaparan dan kesulitan. Kisah Yusuf AS adalah kisah tentang kearifan lingkungan. Sebuah kisah yang menyajikan sikap sadar, spiritual, dan bersyukur atas karunia Allah dalam wujud keakraban yang berani terhadap alam lingkungannya. Visi kearifan lingkungan menghindarkan Nabi Yusuf dari bencana kelaparan dan ini menjadi pelajaran bagi umat-umat sesudahnya.Berlawanan dengan visi Nabi Yusuf AS itu adalah sikap-sikap abai terhadap lingkungan seperti yang diperlihatkan oleh manusia modern ini. Bencana-bencana itu bukan semata-mata karena alam, tetapi juga karena ulah kita yang tak peduli padanya. Kita terus melukai dan membebani kemampuan daya dukung lingkungan tanpa melihat dengan arif akibat-akibatnya. Redupnya daya baca kita atas tanda-tanda zaman (baca: ayat-ayat Allah) membuat makin redupnya manusia sebagai khalifatullah fil ardh . Jika ini terus-menerus berlangsung diidap oleh manusia, makna manusia sebagai 'wakil Tuhan' ( khalifatullah ) menjadi tidak relevan lagi. Kita mempertanyakan lagi posisi 'wakil Tuhan' karena kita tak lagi mampu membuat kebajikan-kebajikan buat lingkungan. Penegasan kembali kearifan lingkungan perlu dilakukan dan kini menemukan momentumnya sehingga lingkungan bumi menjadi tempat berlindung yang bersahabat. Sikap self-realization atau re-earthing (pembumian kembali) perlu dibangun untuk memperkuat topangan-topangan nilai dalam tindakan manusia atas lingkungannya.

Penulis: Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen STAIN Surakarta
Tulisan ini dimuat oleh Harian Republika, Senin 30 Maret 2009

Tidak ada komentar: