Rabu, 22 April 2009

Mencari Pintu Masuk Bagi Dialog Peradaban


Oleh: Mudhofir Abdullah
(Candidate Doctor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Direktur Yayasan Azhary Jakarta)

Heboh. Penerbitan sebuah majalah di Denmark yang menghina Nabi Muhammad SAW menuai protes global. Dalam kartun itu, Nabi digambarkan membawa bom bak seorang teroris. Dunia pun dicekam ketakutan. Lima kantor Kedubes dibakar massa di Suriah dan Lebanon (Headline SOLOPOS, 6/2). Akankah isu penghinaan ini menjadi pertanda babak baru perang atau benturan ”Islam” dan ”Barat”?
Pernyataan Sekjen PBB Kofi Annan sangat simpatik. Kepada umat Islam, Annan mengimbau agar dunia Islam menerima permintaan maaf dari suratkabar yang memuat gambar Nabi Muhammad SAW tersebut. ”Saya mendesak kawan-kawan muslim untuk menerima permintaan maaf ini, atas nama Allah Yang Maha Pengasih,” imbau Annan (Detikcom, 4/2). Selanjutnya, Annan menyatakan bahwa kebebasan pers harus selalu diterapkan melalui penghormatan terhadap keyakinan agama dan ajaran seluruh agama (Kompas, 4/2).Apa yang dilakukan Kofi Annan sangat tepat. Kasus pelecehan terhadap seorang Nabi yang sangat dihormati umat Islam dan semua agama bukanlah isu sepele. Ia merupakan isu internasional dan dapat mengancam stabilitas global jika tidak segera direspons secara cepat dan bijak. Di tengah memanasnya ketegangan antara dunia Islam versus Barat pascatragedi WTC 11/9 dan aksi militer atas Afghanistan dan Irak, pelecehan oleh Majalah Jyllands-Posten (30 September 2005) yang kemudian direproduksi oleh media Barat baru-baru ini dapat ditafsirkan sebagai genderang perang. Alih-alih mengupayakan dialog peradaban, kasus kartun Muhammad itu justru kian mempertebal benturan peradaban.Tidak belajarSungguh, untuk kesekian kalinya dunia tak pernah belajar dari kasus-kasus yang menyangkut ultimate concern. Nabi, Kitab Suci, Tuhan (Allah) tempat-tempat ibadah (mesjid, gereja, pura, kelenteng) adalah simbol-simbol sakral yang harus dirawat dari perusakan atau pelecehan. Semua agama dan pemeluknya sangat mengerti dan menghormati simbol-simbol tersebut. Simbol menurut Mircea Eliade (1907-1986) adalah entitas yang menghadirkan dunia sebagai totalitas yang hidup; yang meremajakan dunia secara terus-menerus, kaya, penuh kekuatan dan tak habis-habisnya. Tak heran, jika suatu simbol sakral diganggu atau dilecehkan akan menimbulkan reaksi sangat keras. Masih segar dalam ingatan kita kasus pemberitaan Newsweek tentang pelecehan Alquran oleh tentara AS di Penjara Guantanamo Mei tahun lalu. Pelecehan ini mengundang ribuan bahkan jutaan protes umat Islam di seluruh dunia. Bahkan aksi protes massa umat Islam di Pakistan memakan korban tewas 15 orang. Kita juga ingat hebohnya novel Salman Rushdie the Satanic Verses tahun 1988 yang juga melecehkan Nabi, Alquran dan umat Islam. Ketegangan dunia meningkat ketika pemimpin spiritual Khomeini dari Iran menghukum mati Rushdie tahun 1989 dengan hadiah 1 miliar kepada siapa saja yang bisa membunuhnya.Di Indonesia, kita diingatkan oleh kasus poling Monitor tahun 1990 yang hampir menyeret kerusuhan sosial. Poling Monitor tentang tokoh-tokoh idola yang dimotori oleh Arswendo dianggap melecehkan Muhammad SAW, karena poling itu sembrono dalam metode sehingga hasilnya menempatkan Muhammad di bawah Arswendo sendiri.Kita tentu menyesalkan reaksi berlebihan. Tetapi kita juga menyesalkan mengapa terhadap simbol-simbol sakral agama tidak berhati-hati? Mengapa dunia tak belajar dari kasus-kasus sejenis? Bagi sebagian besar masyarakat AS dan Barat, boleh jadi simbol-simbol bahkan agama itu sendiri tak dianggap penting. Sekularisasi massif peradaban Barat menyebabkan ranah agama tak lagi dominan dan menentukan. Tetapi bagi peradaban Timur, simbol-simbol dan agama masih menjadi aspek penting dalam kehidupan. Ia masih kuat, yang meminjam Paul Tilich (1887-1965) dalam Dynamics of Faith (1957) disebut sebagai suatu ultimate concern (titik dasar tertinggi dan terakhir).Ide multikulturalisme yang dikembangkan Barat menegaskan harus dilakukan dalam batas-batas keadaban (within the bonds of civility). Dialog peradaban, karena itu, masih menjadi agenda yang tetap relevan bagi dunia untuk mengurangi ketegangan. Dialog peradaban mensyaratkan adanya sikap saling menghargai. Penghinaan terhadap unsur-unsur peradaban, seperti agama dan kepercayaan, berarti sebuah pelanggaran. Dan ia mencerminkan sebuah kondisi uncivilized (tak berkeadaban). Barat harus tegas mengutuk keras pelecehan terhadap salah satu unsur peradaban itu. Sebuah dialog tak bisa efektif jika prinsip dasarnya, yaitu sikap saling menghormati, dilanggar.Kasus kartun Nabi Muhammad bisa menjadi pintu masuk bagi dialog peradaban. Kecaman Sekjen PBB dan sejumlah petinggi negara AS dan Eropa pada kasus itu bisa sedikit mengobati dunia Islam yang tercederai. Dunia Islam pun diharapkan tidak menggunakan kekerasan dalam melakukan reaksi. Dialog dan diplomasi merupakan pilihan bijak untuk meredam ketegangan ini.Saya percaya, meski sejarah panjang tak pernah dapat terhindar dari benturan-benturan antarperadaban, namun selalu ada juga ada faktor-faktor integratif yang bersifat universal. Yakni kian terwujudnya kesadaran dan hati nurani global yang tak terikat oleh peradaban tertentu, tapi mewakili jatidiri sebagai manusia, terlepas dari perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Artinya laksana puncak gundukan pasir runtuh yang selalu mencari keseimbangannya, maka potensi konflik antara dua peradaban itu selalu direm oleh potensi lawannya, yaitu potensi berdamai, berkonsensus, dan bekerjasama.Ada isu-isu strategis yang dihadapi bersama oleh semua umat manusia di planet bumi, yaitu krisis ekologi, ancaman nuklir, kemiskinan, pelanggaran HAM, korupsi dan lain-lainnya. Umat beragama dan umat manusia sedang berada dalam ancaman krisis-krisis itu. Bila kasus-kasus pelecehan pada agama selalu terjadi, maka energi akan terkuras secara percuma. Dalam konteks domestik, kasus Kartun Nabi Muhammad SAW membawa hikmah. Kasus ini mengajarkan kepada masyarakat Indonesia yang majemuk untuk tidak mengusik, melecehkan, dan bermain-main dengan agama dan simbol-simbolnya. Semua agama yang hidup di Indonesia, dengan kasus itu, diharapkan tidak terganggu. Tetapi justru kian menumbuhkan solidaritas sebagai sesama bangsa.Meski demikian, kasus Kartun Nabi Muhammad SAW, tidak berarti membungkam kebebasan pers dan berekspresi. Sejauh berada dalam koridor kode etik dan kesediaan untuk menghormati keunikan sebuah agama berikut simbol-simbolnya, maka freedom of opinion and expression tak menjadi soal. Kini kian disadari bahwa dalam sebuah dunia yang kian tembus pandang, tanggung jawab media (massa maupun elektronik) sungguh sangat mulia dan besar dalam memberi pencerahan serta nilai-nilai solidaritas global. - *) Tulisan ini pernah dimuat oleh SOLOPOS. Penulis dapat dikontaka pada mudhofir1527@gmail.com atau 081586561136

Tidak ada komentar: