Jumat, 27 Maret 2009

MASA DEPAN PERADABAN ISLAM: DI PERSIMPANGAN JALAN?

Oleh: Mudhofir Abdullah
(Candidate Doctor UIN Syahud Jakarta)

Diskursus keislaman dan kebudayaan, dalam sejarahnya, selalu saja menunjukkan gairah, elan vita, dan dinamikanya yang unik. Unik karena Islam di antara agama-agama yang lainnya paling aktif dan hidup di tengah-tengah kehidupan modern, terutama, dilihat dari sisi semangat dan praktik para pemeluknya. Sejak didakwahkan oleh Nabi Muhammad SAW. di Mekah tahun 611 M., Islam telah mengalami berbagai persentuhan dengan kebudayaan dan peradaban lain. Dalam rentang itu pula, dilihat dari sisi praksis, Islam mengalami jatuh bangun, sekalipun dari sisi normatif ia selalu kokoh berkenalan dengan sistem, ideologi, dan world view lainnya.
Dalam masa perkenalan dengan peradaban Helenis (jaman Romawi dan Persia), misalnya, Islam cukup berhasil memetik manfaat yang begitu besar berupa adopsi ilmu-ilmu, teknologi, kebudayaan, dan sistem-sistem sosial lainnya. Hasilnya adalah lompatan besar peradaban Islam sebagaimana tercermin dalam berbagai ekspansi teritorial, sistem pendidikan, dunia pemikiran, dan bangunan-bangunan berkualitas tinggi baik di Eropa (Spanyol), China, dan Persia (wilayah Iran sekarang). Hampir tujuh abad lamanya, Islam bertengger di atas memimpin peradaban lainnya dalam bidang pemikiran (filsafat, kedokteran, ilmu fisika, geometri, dan lain-lainnya). Kesuksesan historis ini, tentu, sangat mengejutkan peradaban lain seperti Romawi, Persia, dan China menyaksikan betapa luas, cepat, dan dinamisnya peradaban Islam itu melanda bagian dunia lain. Padahal, dilihat dari sumber alam, Arab Saudi—di mana agama Islam lahir dan berasal—adalah hanya hamparan tanah yang gersang, bergunung-gunung, terlalu panas kalau siang, dan terlalu dingin kalau malam. Pada saat itu, Mekah dan sekitarnya, tidak pernah diperhitungkan sedikitpun oleh Persia dan Romawi. Tetapi, mereka terkejut ketika Nabi Muhammad SAW. mulai membawa pesan-pesan keagamaan Islam yang begitu cepat membahana ke seluruh alam. Ke arah barat Islam menguasai seluruh daerah Afrika Utara, menduduki sebagian besar Spanyol dan masuk hingga ke pusat Perancis. Ke arah Timur Islam menduduki Imperium Persia dan merembes masuk ke Asia Tengah serta Punjab sampai akhirnya menjangkau seluruh alam, termasuk Indonesia dengan mencatat rekor sebagai pemeluk Islam terbesar se dunia.
Memang kota Mekah waktu itu sebagai kota perdagangan yang ramai dikunjungi bangsa-bangsa lain yang berdekatan, tetapi hamparan sisanya adalah tanah-tanah yang hanya menawarkan sedikit sumber alam sehingga penduduknya suka berburu dan berdagang untuk bertahan hidup. Dari situasi itulah, Islam lahir, yang dibawa oleh seorang Nabi yang sejak mudanya memperlihatkan sikap-sikap yang luhur dan dijuluki oleh masyarakatnya Al-Amin (yang terpercaya); seorang Nabi yang berasal dari keturunan Ibrahim AS di mana dia merupakan bapak dari agama-agama sawawi: Yahudi, Kristen, dan Islam yang selanjutnya sering disebut sebagai (Abrahamic tradition/religion).
Aspek kesejarahan yang begitu mencengangkan ini menjadi dasar bagi suatu penilaian bahwa Islam merupakan entitas yang begitu penting dan ditakdirkan untuk memperbarui paham dan praktik keagamaan masyarakat manusia yang telah mengalami titik nadir, sehingga perlu untuk diperbarui. Juga untuk menyempurnakan pesan-pesan Tuhan sebelumnya baik yang ada di Taurat maupun Injil. Dalam arti ini, kelahiran Islam adalah sebuah desain Tuhan (Allah swt.) dan bukan kehendak Nabi Muhammad SAW. sebagaimana dituduhkan oleh para orientalis. Islam adalah pesan universal yang memiliki dimensi-dimensi moral yang tinggi mencakup berbagai ras, bahasa, etnis, warna kulit, dan daerah /bangsa. Islam lahir untuk memenuhi panggilan kebutuhan manusia yang tersesat oleh hiruk-pikuknya kehidupan duniawi yang dipenuhi oleh peperangan, praktik-praktik imoral, dan berbagai dimensi negatif-destruktif lainnya. Karena itu, kelahiran Islam, secara metaforis, digambarkan sebagai cahaya yang menerangi kegelapan alam dan membimbing arah perjalanan manusia di dunia agar tetap berada di jalan Tuhan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang telah ada sejak adanya manusia, din al-fitrah. Ia menegaskan kebenaran abadi dan merupakan jalan hidup. Sebagai jalan hidup, Islam mencakup seluruh aspek eksistensi dan tingkah laku manusia. Tidak ada salah satu aspek pun yang lebih penting dibandingkan aspek yang lain, dan terdapat suatu kesatuan dan keseimbangan antara aspek material, rasional, dan spiritual dalam setiap usaha manusia. Realisasi ini penting untuk membahas masa depan peradaban muslim dan juga peradaban manusia secara keseluruhan. Dikarenakan oleh adanya keseimbangan inilah, Islam sering digambarkan sebagain ‘jalan tengah’ dan inilah pula sebabnya Islam, sebagai jalan hidup, dikatakan mengarah kepada moderasi. Ini berarti bahwa Islam tampil dengan penyempurnaan-penyempurnaan atas pesan-pesan agama samawi lainnya. Selanjutnya, interaksi kesejarahan telah menghasilkan titik singgung dengan realitas lain sehingga tak jarang pesan moral perdamaian dan kerja sama antar umat beragama mengalami interupsi.

Beberapa interupsi
Begitulah, sejarah Islam tampil berhadapan dengan berbagai realitas. Umat Islam pun belajar menghadapi dan memperlakukan realitas sedemikian rupa sehingga antara Islam dan realitas tidak kehilangan titik keterputusan. Relevansi antara Islam dan realitas selalu diusahakan untuk tetap terjaga. Upaya-upaya ini memiliki konsekuensi pada aktivitas pemikiran umat Islam yang makin dinamis dan kompleks dan dalam menyertai aktivitas ini adalah terwujudnya karya-karya, pemikiran-pemikiran, dan akhirnya peradaban Islam. Energi untuk proses ini terlalu terkuras, sehingga peradaban Islam bergulat dalam proses dekonstruksi-rekontruksi melalui reinterpretasi dan reaktualisasi pemahaman keagamaan. Proses intelektual inilah yang mengawal dan menyertai jatuh bangunnya sebuah peradaban Islam yang mengalami pasang surut yang dalam sejarah pernah mengalami puncak kejayaannya pada abad-abad pertengahan justru ketika Eropa dan Barat dilanda abad kegelapan dan kebodohan.
Namun segera ditambahkan bahwa akibat kekalahan-kekalahan politis, ekonomi, dan teknologi, di samping tentu saja akibat konflik-konflik internal umat Islam (seperti pada masalah-masalah teologi, fikih, dan lain-lainnya), vitalitas peradaban Islam berangsur-angsur surut sampai akhirnya pada awal-awal abad ke –19 dunia Islam gagal melahirkan jaman modern.[i] Modernisasi justru dilahirkan oleh Kristen Barat, sehingga Islam tidak lagi mampu mengontrol pesatnya kemajuan di luar peradabannya. Konsekuensi dari kegagalan ini adalah gagalnya umat Islam menciptakan tata dunia baru yang ditandai oleh teknologi. Padahal teknologi inilah yang menjadi garda depan kemajuan infrastruktur sosial-ekonomi-budaya dan militer. Lalu Baratlah yang melakukan ekspansi teritorial besar-besaran dengan sasarannya bangsa-bangsa Arab, Asia, dan Afrika (yang beragama Islam), termasuk Indonesia. Kejayaan dan hegemoni Barat atas Islam hingga kini masih berlangsung. Hal ini menjadi titik balik bagi peradaban Islam yang makin tidak berdaya di hadapan bangsa Eropa dan Amerika. Kekuatan Barat hampir sempurna untuk tidak dapat ditandingi lagi oleh umat Islam. Masalah inilah yang sampai hari ini menjadi masalah krusial yang diatasi oleh dunia Islam. Tentang ini, Malise Ruth Ven menulis:
Sejak penghujung abad ke-18 masalah dominasi Barat—baik dipandang sebagai kaum Kristen, sekuler ataupun ateis—telah menyita perhatian utama para pemikir dan aktivis Muslim, serta bahkan seluruh umat Islam, yang telah berupaya merumuskan relevansi pesan al-Qur’an bagi generasi mereka.[ii]

Selanjutnya, dalam waktu yang sama, berbagai konflik pun menyertai kehidupan beragama antara Islam dan agama-agama lainnya. Dari pihak Islam, lahir pula ekstremitas beragama sebagai artikulasi dari kekalahan umat atas kebudayaan Barat. Maka umat Islam terbelah dalam menyikapi kekalahan dan modernitas yang asing bagi mereka. Ada umat Islam yang menempuh jalur fundamentalis (ushuliyyin), sementara itu ada umat Islam yang lainnya lebih memilih kerja sama dan belajar kebudayaan Barat sebagai cara untuk memajukan taraf kebudayaan mereka. Sikap yang berbeda ini terjadi sebagai akibat dari tinjauan dunia mereka atas berbagai ajaran agama. Juga ditentukan oleh pengalaman, wawasan, dan tradisi berfikir mereka terhadap realitas ini. Maka tak heran jika kemudian antara Islam dan Barat diramalkan akan berbenturan, sebagaimana ditulis oleh Huntington dalam bukunya yang kontroversial “The Clash of Civilization”. Ramalan ini merujuk pada kenyataan bahwa Islam di satu pihak, dan Barat di pihak lainnya, memiliki jalur pemikiran, tradisi, dan kultur yang berhadap-hadapan sehingga berpotensi untuk terjadinya konflik atau benturan.
Terlepas dari benar-tidaknya teori-teori itu, problem dunia Islam atas gejala-gejala modernitas yang dikuasai Barat, dan kemunduran Islam di pihak lainnya, mencerminkan adanya perjuangan tak henti-hentinya dunia Islam merekonstruksi peradabannya. Berbagai usaha rekonstruksi ini pun banyak lahir dari karya-karya para intelektual Islam yang, di antaranya, banyak merepresentasikan kegelisahan mereka atas realitas dunia Islam yang dilanda kemunduran hampir di berbagai bidang. Islam, lalu, nampak sebagai entitas yang identik dengan terorisme, keterbelakangan, kemiskinan, keras kepala, dan barbar. Stigma-stigma yang negatif ini, di satu pihak, sangat menyakitkan umat Islam, yang pada waktu bersamaan tidak berdaya menepis stigma itu. Insfrastruktur untuk menepis terlalu kecil sehingga usaha-usaha untuk itu terlalu tenggelam dalam bayang-bayang keperkasaan kebudayaan dan peradaban Barat.
Kini, dan mungkin sampai batas yang tidak diketahui, dunia Islam berada pada kebimbangan bagaimana rekonstruksi peradaban Islam dimulai. Seluruh energi telah banyak dilakukan seperti dengan mulai menerima kehadiran sistem-sitem modern seperti perbankan, kapitalisasi, perjanjian-perjanjian dunia, dan mengadopsi berbagai teknologi mutakhir yang telah menjadi bagian integral kehidupan modern seperti kebudayaan internet. Sebagian diadopsi secara kritis sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Islam, tetapi tak jarang menerima sistem modern ala Barat secara total tanpa seleksi. Akibatnya adalah terbelahnya ragam pemahaman mereka atas teks-teks wahyu dan tradisi. Itulah pergulatan tanpa akhir yang sedang melanda dunia Islam, di samping menghadapi peliknya stigma negatif Barat atas mereka. Juga masalah-masalah ekonomi, kemiskinan, kesenjangan sosial, kesehatan, pendidikan, dan penyelesaian konflik-konflik politik dan ekonomi yang selalu menyertai perjalanan dunia Islam.[iii]
Dari alasan-alasan di atas suatu pertanyaan pantas diajukan, dapatkah umat Islam akan memetik kesuksesan kembali dalam persinggungannya dengan jaman modern sebagaimana pernah sukses dalam sejarah pertemuan pertama dengan peradaban Helenistik yang begitu gemilang pada abad-abad awal Islam? Apakah jaman modern senantiasa menjadi ancaman atau tantangan bagi dunia Islam? Apakah usaha-usaha dunia Islam untuk bangkit kembali dari tidur pulas tradisionalnya ini belum mampu menampakkan geliat keberhasilan? Apakah usaha-usaha itu programatik, sistemik, dan memiliki visi yang sama di antara dunia Islam yang terpencar-pencar? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang menghinggapi kegelisahan, semangat, dan energi intelektual umat Islam yang segera memerlukan aksi.

Stigma dan Islamophobia
Di tengah-tengah kegelisahan yang belum pulih, dunia Islam digempur oleh berbagai stigma yang negatif dari dunia Eropa dan Amerika beserta sekutunya. Dunia Islam telah lama dianggap sebagai dunia yang penuh intrik, teroris, kebodohan, barbar, penuh darah, dan tidak bisa diatur. Kontrol media Barat dan Amerika atas dunia Islam cukup berhasil menggambarkan potret Islam dalam bentuk stigmatisasi yang sangat sempurna. Hasilnya adalah gambaran buruk-rupa Islam di mata dunia dan bangsa-bangsa modern.
Contoh-contoh tentang buruk-rupa wajah Islam dieksploitasi melalui tokoh-tokoh tiran dari negara Islam, seperti Khadaffy, Saddam Husein, Khumaeni, jaringan Al-Qaedah (Osama bin Laden) dan lain-lain. Tentu, pandangan negatif ini kental dengan sinisme dan stereotipe Barat dan Amerika atas Islam. Ini berarti Islam dikonstrusikan dan dikerangkeng dalam perspektif-perspektif Barat yang penuh kebencian. Obyektivitas pandangan Barat dan Amerika atas dunia Islam tampak dipenuhi oleh pandangan konfliktual dan kental dengan kebencian di masa lalu (misalnya, tragedi-tragedi peristiwa Perang Salib). Jadi, dalam dunia Barat dan Amerika telah dijangkiti penyakit islamophobia, yaitu penyakit kejiwaan yang memandang sesuatu sebagai menakutkan dan karena itu perlu dijauhi bahkan dimusnahkan dari dunia. Perspektif yang sangat ironis ini tentu tidak bisa diharapkan untuk melahirkan pandangan yang jujur, obyektif, dan adil atas dunia Islam. Kejujuran untuk melihat dunia Islam yang adil dan obyektif hanya dimiliki oleh ilmuwan-ilmuwan Barat dan Amerika yang jujur dan memiliki komitmen tinggi pada prinsip-prinsip ilmiah. Kelompok ilmuwan inilah yang sedikit banyak menampilkan citra yang positif. Ini, tentu saja, hanyalah oase dari gempuran tak henti-henti dari hujatan Barat dan Amerika atas Islam.
Serangan paling nyata dan dilakukan secara fisik adalah tindakan militer Amerika dan sekutunya atas Afghanistan tahun 2001 dan Irak tahun 2003. Serangan ini dipicu oleh tragedi 11 September 2001 yang menimpa Menara Kembar WTC (World Trade Centre) dan Pentagon Amerika, yang diduga dilakukan oleh jaringan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Kemudian pada tanggal 12 Oktober tahun berikutnya (2002) ledakan terjadi. Kali ini menimpa kawasan wisata Bali dengan korban hampir 200 ribu jiwa dari berbagai negara. Peristiwa dilakukan oleh jaringan terorisme di Asia Tenggara dan memiliki hubungan dengan jaringan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Kasus-kasus terorisme ini dengan cepat dan mudah langsung dialamatkan ke umat Islam. Dunia Islam lalu tersentak dengan kenyataan pahit ini. Serangkaian tragedi inilah yang mengilhami serangan Amerika dkk. ke Afghanistan dan Irak, walaupun pendapat ini dibantah oleh mantan menteri keuangan yang dipecat George W. Bush, Paul O’Neill yang menyatakan bahwa Bush sejak awal-awal jabatannya sudah merencanakan serangan militer ke Irak, “Bush melakukan berbagai upaya untuk melaksanakan niatnya menyerang Irak”, kata O’Neill, “Bush bagai orang buta di dalam ruangan yang penuh dengan orang tuli saat memimpin rapat-rapat kabinet”, kata O’Neill selanjutnya. Kesaksian O’Neill seperti ditulis dalam buku The Price of Loyalty karya Ron Suskind menunjukkan bahwa ada ketidakjujuran politik Amerika atas dunia Islam.[iv] Padahal Korea Utara, dan Israel adalah negara-negara yang memiliki senjata nuklir, tetapi poisinya aman-aman saja, mungkin karena mereka bukan bangsa muslim sehingga tidak diserang secara militer.
Karena itu, mudah dipahami bahwa serangan Amerika atas dua bangsa ini—yang kebetulan adalah bangsa Muslim dianggap sebagai serangan terhadap dunia Islam yang dilakukan tidak dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan. Terlepas dari alasan yang dibuat-buat Amerika dkk., serangan ini jelas dianggap sebagai kelanjutan dari artikulasi Islamophobia Barat atas Islam. Serangan militer ini terjadi di dunia modern yang sangat menghargai HAM, tetapi kebiadaban Amerika hampir tak ada yang bisa menghentikannya. Maka terjadilah sebuah elegi bagi Umat Islam dengan korban-korban harta, nyawa, dan air mata yang maha dahsat. Belakangan terbukti bahwa alasan Amerika dkk., tidak benar karena senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction) yang dijadikan sebagai alasan serangan tidak ditemukan. Kecongkakan bangsa Amerika dkk., lagi-lagi menanamkan investasi kebencian dan ketidakadilan bagi umat Islam.
Hasilnya adalah keterkejutan umat Islam di segala hal dan pada akhirnya memberi kesadaran bagi perlunya sikap bersama umat Islam untuk menghadapi ketidakadilan ini melalui cara-cara diplomasi dan kerjasama secara adil, sekalipun tak bisa ditutup-tutupi bahwa ada kelompok-kelompok yang geram dan putuys asa sehingga melakukan perlawanan secara berlebihan melalui terorisme. Semua usaha itu, dilakukan sebagai satu-satunya jalan untuk mengakhiri konflik agama yang dibalut secara tebal oleh dimensi-dimensi ekonomi dan politik. Sikap yang merupakan sikap dominan umat Islam dunia ini tidak berarti tidak kritis pada Barat dan Amerika, tetapi secara diplomatis menjalankan kampanye solidaritas Islam dan perdamaian sebagai pesan Islam untuk seluruh alam. Dunia Islam harus berjuang bersama melawan ketidakadilan untuk selanjutnya membangun kerjasama dengan berbagai peradaban yang ada. Semangat jaman kita adalah semangat membangun atas dasar cahaya etik agama-agama besar dunia yang murni dan sejati, bukan agama yang telah dibungkus oleh kepentingan etnis, kelompok, dan ekonomi-politik.
Dari garis argumen ini, nuktah-nuktah pemikiran dari buku ini diharapkan bisa memberi inspirasi bagaimana memahami kenyataan dari konfigurasi dunia Islam yang berada di bawah bayang-bayang dominasi Barat dan Amerika, dan selanjutnya bagaimana memberi respon yang tepat dan strategis sehingga dunia Islam tidak bergerak dalam lumpur keputusasaan dan ketidaberdayaan yang berkelanjutan tanpa akahir. Melawan kekuasaan yang congkak dan terlalu kuat memerlukan strategi-strategi yang jitu, sehingga perlawanan atau respon dunia Islam lebih terarah, berjangka panjang, dan berkelanjutan dengan energi yang makin kuat.




Catatan Akhir

1Bandingkan dengan tulisan S.M.N. Al-Atas, Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethic and Morality (Kuala Lumpur, 1975).
[ii]Malise Ruth Ven, Islam in the World, Harmondsorth, 1984, hlm. 289
[iii] Situasi ini menyebabkan lahirnya apa yang oleh Fazlur Rahman disebut “neo-fundamentalisme”, yakni kelompok umat Islam yang memiliki kesetiaan penuh dan ikatan emosional yang kuat sekali pada Islam dan sangat menginginkan Islam itu diperkuat untuk menghadapi Barat, selanjutnya Fazlur Rahman mengatakan, “…So far as Islamic learning is concerned, they are dilettantes: indeed neo-fundamentalism is basically a function of laymen, many of whom are professionals—lawyers, doctors, engeneers” lihat Fazlur Rahman, Roots of Islamic –Neo-Fundamentalism,” Dalam Philip H. Stodard, et. al., eds., Change and the Muslim World (Syracuse, Y.N. University Press, 1981), p. 27-28.
[iv] Kompas, 15 Januari 2004 dan Solopos, 14 Januari 2004.

Catatan Akhir

1Bandingkan dengan tulisan S.M.N. Al-Atas, Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethic and Morality (Kuala Lumpur, 1975).
[1]Malise Ruth Ven, Islam in the World, Harmondsorth, 1984, hlm. 289
[1] Situasi ini menyebabkan lahirnya apa yang oleh Fazlur Rahman disebut “neo-fundamentalisme”, yakni kelompok umat Islam yang memiliki kesetiaan penuh dan ikatan emosional yang kuat sekali pada Islam dan sangat menginginkan Islam itu diperkuat untuk menghadapi Barat, selanjutnya Fazlur Rahman mengatakan, “…So far as Islamic learning is concerned, they are dilettantes: indeed neo-fundamentalism is basically a function of laymen, many of whom are professionals—lawyers, doctors, engeneers” lihat Fazlur Rahman, Roots of Islamic –Neo-Fundamentalism,” Dalam Philip H. Stodard, et. al., eds., Change and the Muslim World (Syracuse, Y.N. University Press, 1981), p. 27-28.
[1] Kompas, 15 Januari 2004 dan Solopos, 14 Januari 2004.

Bencana Situ Gintung, perbuatan Tuhan, Manusia, atau Alam?

Oleh: Mudhofir Abdullah

Sekitar pukul 05.00 pagi Jumat, 27 Maret 2009 Tanggul Situ Gintung ambrol dan menelan dua kampung di sekitarnya. Sampai dengan pukul 12.00 korban tewas sekitar 35 orang dan korban hilang lain belum diketahui. Rumah-rumah penduduk ditelan banjir dan sejumlah rumah roboh. Mobil-mobil warga ikut terseret arus air. Korban adalah anak-anak, wanita dan orang tua. Luapan banjir yang mirip tsunami kecil itu menelan korban yang tidak murah. Pertanyaannya, siapa pelakunya? Tuhan, manusia, atau semata-mata alam?
Para pengkhotbah pasti akan menyampaikan bahwa itu musibah karena banyak pendosa yang tidak beribadah kepada Allah. Atau para ecologists akan mengatakan itu akibat ulah manusia yang tidak memerhatikan lingkungan. Sementara orang awam akan bilang, “itu karena alam dan kita kena sial”. Tiga tipologi jawaban itu tak sepenuhnya benar dan perlu dikritisi.
Jika bencana Situ Gintung karena azab atau musibah Allah, mengapa harus menimbulkan korban manusia yang nyawa dan penderitaannya sulit kita bayangkan? Mengapa Allah mendendam kepada hamba-Nya sendiri yang lemah? Mengapa anak-anak yang tak berdosa dan belum mengetahui apa makna dosa dan pahala ikut jadi korban? Mengapa korbannya nenek-nenek yang sebentar lagi mati? Mengapa dan mengapa ini terjadi? Bencana itu, pastilah bukan perbuatan Tuhan, tapi ulah manusia yang tidak memerhatikan lingkungan dan tata ruang penyelamatan lingkungan. Manusia itulah yang menjadi akar-akar penyebabnya? Manusia yang mana? Di lokasi itu banyak pula orang yang baik-baik, tapi jadi korban juga. Lalu pemerintah kota? Atau sejarah alam yang menyebabkan bencana itu?
Saya tidak bisa menjawab tegas semua itu. Tapi saya tegas menolak, bencana itu perbuatan Tuhan karena dendam gara-gara manusia tidak patuh pada-Nya. Saya lebih setuju kalau bencana itu adalah sejenis “kelalaian spesies manusia yang bertanggungjawab pada lingkungan Situ Gintung tapi tidak memeriksa atau menyelidiki seberapa aman lingkungan sekitar. Mengapa tidak ada peringatan seberapa bahaya lingkungan sekitar? Kesalahannya semata-mata pada ketimampuan ketajaman melihat ‘tanda-tanda jaman’ karena terlelap oleh kepuasan pada duniawi. Lalai karena hatinya kafir atau cover (tertutup) untuk mengawasi lingkungannya dari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam.
Jangan pula menyalahkan korban (blaming the victim), karena korban-korban itu ada yang baik, ada yang anak-anak, dan orang-orang miskin yang selama hidupnya tertindas oleh ketidakadilan sistem sosial dan politik. Sekali lagi jangan salahkan para korban, jangan salahkan Tuhan, dan jangan salahkan alam. Salahkan manusia-manusia yang lalai pada peringatan-peringatan-Nya. Jadi kelalaian itulah yang menjadi sebab semua bencana, termasuk bencana di Situ Gintung itu.