Jumat, 27 Maret 2009

Bencana Situ Gintung, perbuatan Tuhan, Manusia, atau Alam?

Oleh: Mudhofir Abdullah

Sekitar pukul 05.00 pagi Jumat, 27 Maret 2009 Tanggul Situ Gintung ambrol dan menelan dua kampung di sekitarnya. Sampai dengan pukul 12.00 korban tewas sekitar 35 orang dan korban hilang lain belum diketahui. Rumah-rumah penduduk ditelan banjir dan sejumlah rumah roboh. Mobil-mobil warga ikut terseret arus air. Korban adalah anak-anak, wanita dan orang tua. Luapan banjir yang mirip tsunami kecil itu menelan korban yang tidak murah. Pertanyaannya, siapa pelakunya? Tuhan, manusia, atau semata-mata alam?
Para pengkhotbah pasti akan menyampaikan bahwa itu musibah karena banyak pendosa yang tidak beribadah kepada Allah. Atau para ecologists akan mengatakan itu akibat ulah manusia yang tidak memerhatikan lingkungan. Sementara orang awam akan bilang, “itu karena alam dan kita kena sial”. Tiga tipologi jawaban itu tak sepenuhnya benar dan perlu dikritisi.
Jika bencana Situ Gintung karena azab atau musibah Allah, mengapa harus menimbulkan korban manusia yang nyawa dan penderitaannya sulit kita bayangkan? Mengapa Allah mendendam kepada hamba-Nya sendiri yang lemah? Mengapa anak-anak yang tak berdosa dan belum mengetahui apa makna dosa dan pahala ikut jadi korban? Mengapa korbannya nenek-nenek yang sebentar lagi mati? Mengapa dan mengapa ini terjadi? Bencana itu, pastilah bukan perbuatan Tuhan, tapi ulah manusia yang tidak memerhatikan lingkungan dan tata ruang penyelamatan lingkungan. Manusia itulah yang menjadi akar-akar penyebabnya? Manusia yang mana? Di lokasi itu banyak pula orang yang baik-baik, tapi jadi korban juga. Lalu pemerintah kota? Atau sejarah alam yang menyebabkan bencana itu?
Saya tidak bisa menjawab tegas semua itu. Tapi saya tegas menolak, bencana itu perbuatan Tuhan karena dendam gara-gara manusia tidak patuh pada-Nya. Saya lebih setuju kalau bencana itu adalah sejenis “kelalaian spesies manusia yang bertanggungjawab pada lingkungan Situ Gintung tapi tidak memeriksa atau menyelidiki seberapa aman lingkungan sekitar. Mengapa tidak ada peringatan seberapa bahaya lingkungan sekitar? Kesalahannya semata-mata pada ketimampuan ketajaman melihat ‘tanda-tanda jaman’ karena terlelap oleh kepuasan pada duniawi. Lalai karena hatinya kafir atau cover (tertutup) untuk mengawasi lingkungannya dari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam.
Jangan pula menyalahkan korban (blaming the victim), karena korban-korban itu ada yang baik, ada yang anak-anak, dan orang-orang miskin yang selama hidupnya tertindas oleh ketidakadilan sistem sosial dan politik. Sekali lagi jangan salahkan para korban, jangan salahkan Tuhan, dan jangan salahkan alam. Salahkan manusia-manusia yang lalai pada peringatan-peringatan-Nya. Jadi kelalaian itulah yang menjadi sebab semua bencana, termasuk bencana di Situ Gintung itu.

Tidak ada komentar: