Sabtu, 25 April 2009

Spiritualitas Dalam UNCCC

Oleh : Mudhofir Abdullah
Dosen STAIN Surakarta, Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bumi yang kita huni, keadaannya, meminjam Seyyed Hossein Nasr (1968), kini sangat terluka dan berdarah-darah. Peradaban industrial selama berabad-abad telah menyebabkan bumi menjadi anak yatim yang terlantar. Ia kini kian rusak oleh pandangan sekuler dan hedonistik manusia tentang alam yang terus mengkhutbahi untuk mengeksploitasinya. Perubahan-perubahan iklim pun terjadi begitu cepat dan tak terkendali yang menyebabkan bumi tak ramah lagi pada penghuninya. Tak heran jika bencana-bencana kerap datang mengancam.
Bumi yang sedang kritis inilah yang menjadi tema pokok perbincangan dalam Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim (UNCCC atau United Nation Climate Change Conference) di Nusa Dua Bali yang dijadwalkan berakhir hari ini. Acara ini dihadiri setidaknya 10 ribu peserta (termasuk para pemantau lingkungan) dari 185 negara. Kehadiran mereka di Bali sangat menentukan detik-detik yang sangat penting bagi masa depan kelangansungan bumi dengan keseluruhan eksosistem yang menghuninya.
Peristiwa profetikHajatan akbar ini, sungguh, merupakan peristiwa agung dan profetik yang merefleksikan kepedulian global, terlepas dari sekat-sekat agama, bangsa, bahasa, dan ras. Perbedaan itu disatukan oleh kepentingan bersama untuk masa depan kelangsungan kehidupan di muka bumi yang kian tua renta ini. Tak ada pilihan lain bagi manusia selain melakukan tindakan preventif untuk menghentikan atau memperlambat perubahan iklim yang terus berlangsung. Kesadaran bersama ini hendak mencari konsensus-konsensus baru tentang respons dan tindakan yang harus dilakukan terhadap nasib bumi yang merupakan pusaka bersama.
Konferensi Perubahan Iklim ini merefleksikan sebuah kesadaran profetik. Artinya, ia didorong bukan saja oleh kondisi objektif bumi yang kian kritis, tetapi juga didorong oleh naluri kenabian yang tergali dari renungan-renungan spiritual. Mereka tidak egois untuk menghabiskan sumber-sumber kehidupan bumi hari ini, tetapi berpikir untuk kelangsungan generasi yang akan datang. Mereka memikirkan akibat-akibat kerusakan bumi bila pandangan-pandangan sekuler mereka tetap dipertahankan. Di sini, tampaknya, manusia masih memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan-pilihan moralnya. Ini adalah sebuah anugerah Tuhan yang terbesar dan tak pernah dimiliki makhluk lainnya.
Krisis bumi yang kian parah dengan gejala-gejalanya yang telah menimpa banyak korban, telah mendorong manusia untuk melihat ke dalam. Melihat ke kesadaran Ilahiah yang dengannya pilihan-pilihan moral terdorong untuk berharmoni dengan alam. Kearifan lokal, kearifan spiritual, dan kearifan agama tengah dicari lagi untuk keperluan menopang pandangan sakral terhadap alam itu. Khazanah kearifan yang dimiliki banyak agama dan budaya dianggap mampu menopang tugas-tugas profetik untuk merawat bumi dan mengerem perubahan iklim yang ekstrem. Khazanah ini harus digali dan di saat yang sama menjadi paradigma baru manusia dalam memperlakukan bumi serta alam.
Ini perlu menjadi kesadaran bersama karena menurut Mary Evelyn Tucker (1994) tidak ada satu tradisi agama atau perspektif folosofis pun yang mempunyai solusi ideal bagi krisis-krisis lingkungan. Menyadari hal ini, UNCCC di Bali mengisyaratkan kehendak tersebut. Mereka bahu-membahu menemukan konsep-konsep utama untuk menyelamatkan bumi dari krisis-krisis sistematik yang berkelanjutan. Mereka sejenak melupakan konflik dan perbedaan demi merengkuh tujuan jangka panjang bersama.
Bumi adalah pusaka bersama. Tempat manusia lahir, hidup, dan mati. Sebagai pusaka bersama umat manusia, tak seorang pun berhak memilikinya dalam arti mutlak. Manusia hanyalah entitas yang hanya dipinjami untuk memanfaatkan dan mengelolannya. Karena itu, setiap pemanfaatan bumi di pundaknya melekat tanggung jawab perawatannya. Kata 'pusaka bersama' juga mensyaratkan manusia berpikir global dan bertindak lokal. Apa yang diperbuatnya harus dipertimbangkan apakah ia memiliki dampak-dampak buruk bagi yang lain. Tindakan hari ini harus memerhatikan akibat-akibat di kemudian hari, yakni bagi kelangsungan generasi yang akan datang. Jelas bahwa pertimbangan-pertimbangan semacam ini adalah suatu pilihan moral amat agung. Kita diajarkan kearifan-kearifan tinggi dari semangat moral sebagaimana tercermin dari 'jiwa spiritual' UNCCC itu.
Bersikap arif terhadap bumi bukan berarti membiarkan ia tak berguna. Meng-arifi bumi terkandung pesan memanfaatkan dengan penuh tanggung jawab merawatnya. Artinya, kita menempatkan posisi manusia secara harmonis dengan alam. Juga mengharuskan manusia mengembangkan penglihatan holistik, meninjau isi alam dalam hubungan saling keterkaitan antara komponen lingkungan dan komponen lainnya. Wawasan interdependensi ini perlu dikembangkan sebagai prakondisi bagi pendekatan pembangunan berwawasan lingkungan.
Menyembuhkan lukaPerubahan paradigma tentang alam diharapkan berdampak pada perubahan cara memperlakukan bumi. Krisis bumi adalah artikulasi dari krisis spiritual. Maka tugas awal dari UNCCC di Bali adalah menyebarkan informasi hasil-hasil keputusannya ke seluas-luasnya masyarakat agar benar-benar mengendap dalam pikiran dan persepsi publik global. Bila perlu dilekatkan dalam setiap doktrin ajaran agama, kepercayaan, dan spiritualitas yang dimiliki bangsa-bangsa. Ini penting karena undang-undang dan hukum sekuler dianggap tidak memadahi lagi untuk memproteksi bumi dari pandangan-pandangan sekuler yang memisahkan alam dari status sakralnya.
Kearifan para pemimpin dunia juga punya peranan sangat penting. Mereka adalah sosok-sosok yang bisa mengubah dunia karena punya kekuatan sumber daya-sumber daya politik dan ekonomi untuk itu. Para aktor dunia ini harus menjadi variabel dalam aksi global penyelamatan bumi. Sejarah bangsa-bangsa, baik yang sudah punah maupun yang masih bertahan, seringkali terkait dengan keputusan seorang pemimpin. Para pemimpin adalah sekelompok elite yang keputusan-keputusannya mempengaruhi perubahan-perubahan dunia, positif maupun destruktif.
Karena itu, Barat, terutama Amerika Serikat, harus mematuhi Protokol Kyoto. Selama ini, AS menolak Protokol Kyoto bersama Australia dari negara maju karena alasan politik dan ekonomi dalam negeri. Keputusan politik AS dan Australia sebagai negara besar tentang konservasi bumi akan sangat mempengaruhi percepatan implementasinya. Australia, di pihak lain, menebarkan kepak-kepak sayap harapan dengan kemenangan Kevin Rudd sebagai Perdana Menteri Baru bagi program konservasi ini. Kevin Rudd menang di antaranya karena mengangkat isu-isu lingkungan dan begitu terpilih dia memang kemudian meratifikasi Protokol Kyoto.
Respons masyarakat dunia tentang perubahan iklim yang kian mengerikan mengharuskan matra-matra politik, ekonomi, agama, dan spiritualitas bersinergi. Kombinasi matra-matra itu akan kian ampuh dalam memproteksi bumi yang sedang sakit parah ini. Harapan untuk sembuh dari luka bumi pun kian menemukan maknanya kembali dengan getar-getar spiritualitas dalam UNCCC itu.
Ikhtisar
- Konferensi tentang Perubahan Iklim di Bali menjadi salah satu bentuk kesadaran profetik manusia sebagai khalifah di muka bumi.- Selain mendayagunakan, manusia juga memiliki tanggung jawab untuk merawat kelestarian dan keseimbangan alam.- Usai konferensi tersebut diharapkan muncul kesadaran baru umat manusia untuk menjaga bumi.
Sumber: Republika Online

Tidak ada komentar: