Selasa, 05 Mei 2009

Infiltrasi Ideologi Terorisme

Oleh: Mudhofir Abdullah*
(Dosen STAIN Surakarta)


Teka-teki tentang siapa Arman kini kian jelas. Identitas Arman yang ikut tewas bersama Dr Azahari dalam penggerebekan Tim Antiteror Detasemen 88 Mabes Polri 9/11 di Batu Malang, Jawa Timur beberapa hari yang lalu sempat menjadi misteri. Menurut Kapolri, Arman yang sering disebut-sebut sebagai asisten Dr Azahari adalah bernama asli Agus Puryanto (SOLOPOS, 21/11). Headline di sejumlah koran lokal maupun nasional memuat foto Arman alias Agus Puryanto (selanjutnya disingkat AP) yang didapat wartawan dari file Bagian Akademik STAIN Surakarta (yang kemudian menjadi rujukan media massa baik cetak maupun elektronik). Yang menarik, sebuah harian lokal menulis besar-besar headline-nya “Arman kuliah di STAIN Solo” (SOLOPOS, 21/11).
Benarkah Arman adalah Agus Puryanto yang kuliah di STAIN Solo? Bagaimana Arman alias AP yang dikenal sangat lugu dan kalem bisa bersua dengan Dr Azahari? Bagaimana pula infiltrasi ideologi kaum teroris ini memasuki alam pikirannya? Itulah beberapa pertanyaan yang muncul dalam benak masyarakat.
Politik infiltrasi
Dari data yang ada, AP yang disebut Kapolri sebagai Arman, yang dikuatkan dengan hasil tes DNA dan positif, adalah mahasiswa Jurusan Tarbiyah STAIN Solo angkatan 2000. Statusnya mahasiswa aktif yang “mengambil” cuti mulai Juli 2005. Menurut keluarganya, dia terakhir pamit pada Agustus 2005 untuk konsentrasi menyelesaikan skripsi di rumah temannya. Aktivitas sebelum pamitan, selain kuliah, adalah mengajar TPA dan membantu usaha percetakan pamannya di Cemani Grogol Sukoharjo. Dia juga tak pernah ikut organisasi atau kegiatan lain yang mencurigakan.
Data singkat ini memperlihatkan bahwa Arman alias AP merupakan rekrutan baru komplotan Dr Azahari. Arman alias AP, dilihat dari latar belakangnya, bukanlah anggota “Jamaah Islamiyah” atau kelompok-kelompok yang memiliki anasir-anasir teroris. Lalu, melalui pintu mana anasir-anasir radikalisme liberal yang berujung pada ideologi terorisme masuk ke alam pikirannya? Mengapa posisi Arman alias AP sangat penting dan menjadi kepercayaan gembong teroris Dr Azahari dalam waktu singkat? Sungguh ini teka-teki yang sangat menarik untuk dipecahkan.
Sedikitnya ada dua analisis terkait dengan melejitnya posisi Arman alias AP di gerbang kedekatannya dengan Dr Azahari. Pertama, berbeda dengan rekrutan lain yang kebanyakan lulusan SMP atau SMA bahkan pekerja bangunan, Arman alias AP dianggap rekrutan potensial dari kalangan mahasiswa sebuah perguruan tinggi Islam sehingga mudah berkomunikasi dan menerjemahkan ide-ide mereka dengan cepat. Kedua, Arman alias AP dianggap paling dapat dipercaya dan dengan cepat memiliki ketrampilan merakit bom sehingga bisa membantu Dr Azahari.
Jadi, pada diri Arman alias AP terkumpul kemampuan teknis dan ideologis sekaligus. Seperti diketahui, Dr Azahari adalah pakar perakit bom yang kemampuannya luar biasa. Sementara Noordin M Top adalah seorang ideolog yang merupakan atasan Dr Azahari dan bertugas melakukan brainwashing terhadap anak-anak muda. Arman alias AP, dalam konteks analisis ini, tentu cukup penting posisinya dan sangat tahu rahasia keseluruhan strategi komplotan Dr Azahari. Di mata komplotan ini, Arman merupakan sosok masa depan sehingga berada di lapis dan gerbang inti lingkaran Dr Azahari. Itulah mengapa, dalam penggerebekan di Jalan Flamboyan II Batu, Malang 9/11 yang lalu Arman alias AP memilih meledakkan diri. Sementara Dr Azahari masih melawan sampai akhirnya tertembak Tim Antiteror Detasemen 88.
Terseretnya Arman alias AP pada komplotan Dr Azahari menunjukkan kepiawaian komplotan ini dalam melakukan politik infiltrasi. Kemungkinan sejumlah pertemuan telah terjadi. Mungkin di kampus, di masjid, atau di mana saja melalui kaki tangan Azahari. Diduga kuat, sejak Agustus beberapa bulan lalu dia pergi ke lokasi bawah tanah tempat mangkalnya komplotan Azahari bermarkas. Dan di sanalah doktrin serta ideologi komplotan Azahari mencuci bersih otaknya. Mungkin saja, perkenalannya sudah lama dan setelah bertarung dengan konflik batin dan faktor-faktor lain yang bersifat psikis, ekonomis, dan budaya lalu memutuskan untuk bergabung. Atau mungkin sebelumnya telah membaca buku-buku tentang jihad dan tafsir-tafsir jaringan ini sehingga menjadi prakondisi yang melicinkan jalan ke gerbang aktivitas terorisme.
Jika kemungkinan-kemungkinan di atas benar, kita patut curiga jangan-jangan kasus Arman alias AP hanyalah puncak gunung es saja dan masih banyak lagi yang belum terungkap. Ini berarti “masih banyak lagi” yang sudah atau telah dicoba rekrut oleh komplotan Dr Azahari ini dari kalangan mahasiswa STAIN Solo atau mahasiswa-mahasiswa lain di sejumlah kampus lainnya. Kita perlu mewaspadai menyusupnya ideologi terorisme yang diusung oleh komplotan Azahari di sekitar kita.
Sejak komplotan “Jamaah Islamiyah” yang terkait dengan Al Qaedah diuber-uber polisi bahkan dunia, nama JI tak lagi digunakan. Pola dan strategi operasinya berubah. Pola rekrutmen anggota baru tidak lagi hanya dari kalangan mereka saja, tetapi meluas hingga ke siapa saja yang mudah di-brain wash. Apalagi aliran dana mulai teramputasi sehingga operasi terorisme yang berbiaya sangat mahal ikut tersendat. Meski begitu, ideologi semacam ini sulit dihentikan. Seperti pernah saya tulis dalam harian ini (SOLOPOS, 16/11) ia tetap menyala seperti api dalam sekam selama akar-akarnya tak pernah tuntas diselesaikan. Dan tumbal-tumbal baru akan terus bermunculan.
Upaya membendung
Sesungguhnya, secara genealogis lembaga pendidikan tinggi Islam (UIN, IAIN, STAIN dan PTAIS) merupakan tempat persemaian pemikiran yang relatif terbuka. Tradisi berfikir kritis cukup hidup sehingga memungkinkan para mahasiswa terbiasa dalam wacana-wacana keislaman dan peradaban yang bersifat comparative perspective dan “multikultural”. Karena itu, cukup mengejutkan ketika ada yang bisa terseret pada doktrin dan ideologi komplotan Dr Azahari, yang dipandang dari segi apapun sulit diterima akal.
Dilihat dari kurikulum, metode belajar-mengajar, lingkungan, koleksi perpustakaan dan lain-lainnya di STAIN Solo, tempat Arman alias AP kuliah, tidaklah kondusif bagi terciptanya radikalisme semacam ini. Besar kemungkinan Arman alias AP terbentuk oleh pilihan-pilihan bacaannya, kecenderungan filsafatnya, teman pergaulannya yang kemudian berpuncak pada indoktrinasi oleh komplotan Dr Azahari. Arman, meski tumbuh dari lingkungan yang jauh dari anasir-anasir radikal-ekstrem teroris, namun ia menjadi anak yatim lingkungannya.
Data para pelaku teror di Tanah Air, baik yang telah mati, ditangkap maupun yang masih buron, menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang-orang yang memiliki kedalaman ilmu agama. Bahkan dalam batas-batas tertentu sangat awam. Fakta inilah yang membuat mereka pendek akal dalam memahami ajaran Islam. Teks-teks Alqur’an dan hadis, terutama tentang jihad, ditafsirkan secara harfiah sehingga mereka jatuh pada otoritarianisme teks. Konsekuensinya, tafsir-tafsir di luar kelompoknya harus dimusnahkan. Mereka telah menempatkan dirinya di tempat Tuhan yang memutuskan dan menindak kelompok-kelompok yang dianggap salah. Dalam persepsi mereka, karena itu, agama selalu mengandung imajinasi yang membuat pelbagai nilai jadi mutlak. Agama dengan itu juga memproyeksikan apa yang oleh Karren Amstron disebut ‘peperangan kosmis’.
Anasir-anasir seperti ini sulit tumbuh di lembaga Pendikan Tinggi Islam. Karena itu, Arman alias AP adalah sebuah anomali dan bukan produk STAIN atau pesantren. Seperti para pelaku lainnya, Arman adalah korban ideologi kaum teroris yang bergerak di bawah tanah. Selanjutnya, ideologi kaum teroris adalah artikulasi dari ketidakadilan global yang sisa-sisanya masih menjadi push factor bagi berkembangnya ideologi ini.
Untuk membendung meluasnya ideologi dan paham-paham sesat tentang jihad, peran IAIN/STAIN justru sangat sentral. Kasus Arman—dan juga para pelaku bom bunuh diri yang lainnya—telah membuka mata kita bahwa ideologi kaum teroris telah menyusup di tengah-tengah lingkungan kita. Bahkan Lembaga Pendidikan Tinggi Islam yang notabene menjadi agen pencerahan peradaban tidak steril dari infiltrasi ideologi tersebut.
Surakarta, 30 Nopember 2005

Tidak ada komentar: