Selasa, 05 Mei 2009

Sekali Lagi Dialog Peradaban


Oleh: Mudhofir Abdullah*



Dalam artikel tanggapan Sdr Nur Alam (NA) Solusi konstruktif penistaan Nabi Muhammad (SOLOPOS, 16/02) tertangkap kesan bahwa dialog peradaban sudah tertutup. “Tema dialog peradaban yang seperti apa lagi yang mesti didialogkan?” tulisnya sengit. Ia mengusulkan agar para pelaku penistaan terhadap Nabi Muhammad SAW dihukum mati. Ia juga “berhipotesis” bahwa jika sistem khilafah islamiah ditegakkan seluruh persoalan global (hubungan Muslim-non Muslim, krisis ekologi, pelanggaran HAM, korupsi, kemiskinan, dan lain-lainnya) dapat diselesaikan. Inilah yang disebutnya sebagai solusi konstruktif Islam. Begitu sederhanakah?
Tanggapan ini bukan dimaksudkan untuk membela diri atas artikel saya terdahulu. Tetapi lebih didorong oleh keinginan bersama untuk mempromosikan Islam sebagai agama damai dan agama yang sarat dengan nilai-nilai kesantunan dan keadaban. Kita harus berjuang menepis citra Islam yang negatif sebagaimana digambarkan “Barat”. Di sinilah saya berbeda metode dengan NA. Tulisan berikut ingin menyajikan perspektif dan sudut pandang lain yang lebih lapang.

Satu tarikan nafas
Saya satu tarikan nafas dengan NA bahwa reaksi dunia Islam terjadi karena ada aksi, yakni penghinaan berkali-kali atas Islam, Alqur’an dan Nabi Muhammad SAW. Sesungguhnya, bukan hanya dalam sejarah modern saja ketegangan “Islam” dan “Barat” terjadi. Tetapi juga terjadi dalam sejarah masa lalu yang tercermin dalam Perang Salib dan kolonialisme atas bangsa-bangsa Muslim. Dan bekas-bekasnya kini sebagian masih terlihat dalam sejarah modern berupa karya-karya bernada permusuhan.
Di sisi lain, pembantaian etnis Muslim Bosnia-Herzegovina tahun 1990-an oleh Serbia, aksi militer AS atas Afganistan dan Irak tahun 2003, serta konflik Israel-Palestina hingga sekarang masih menjadi amunisi kemarahan dunia Islam. Saya setuju bahwa Barat yang mengusung nilai-nilai HAM, sejatinya, tak sepenuhnya konsisten dan bahkan menurut Michael Akehurst dalam A Modern Introduction to International Law (1987: 21) menjadi pelanggar HAM paling produktif dalam sejarah modern. Dari sisi ini kita sangat geram kepada “Barat”. Tetapi haruskah kita menutup pintu dialog dan berada dalam kebuntuan yang menegangkan?

Isu-isu dialog
“Islam” dan “Barat” sengaja saya tulis dalam tanda petik. Mengapa? Karena Islam bukanlah entitas tunggal sebagaimana Barat juga tidak tunggal. Dalam Islam ada banyak varian dari segi ideologi, pemikiran, hukum dan adat-istiadat. Demikian pula Barat. Karena itu, dialog peradaban bertujuan untuk mendekatkan taraf saling pemahaman yang sama di antara kelompok-kelompok dalam peradaban yang berbeda.
Sikap Islam tidak tunggal dalam melakukan reaksi. Ada yang menempuh cara Osamah bin Laden dan Azahari berikut komplotannya, tetapi juga ada yang lebih santun melalui cara-cara diplomasi dan dialog peradaban. Demikian pula Barat. Dalam kasus aksi militer AS atas Irak, misalnya, Barat (Jerman dan Perancis) justru sangat menentang. Demikian pula masyarakat AS juga menolak aksi militer yang digerakkan oleh ambisi pemerintahan Bush atas Afganistan dan Irak. Kasus serupa juga terjadi pada Karikatur Muhammad SAW. Pemerintah dan masyarakat (agama) Barat serta AS menentang penerbitan tersebut.
Fakta ini menunjukkan bahwa masih banyak hal yang bisa didialogkan. Islam dan Barat harus tetap melanjutkan proyek-proyek kemanusiaan universal. Program bantuan dari negara-negara kaya (AS dan Barat) untuk negara-negara miskin (yang sebagian besarnya bangsa Muslim) juga harus tetap dilanjutkan. Kini kian disadari bahwa krisis ekologi, kemiskinan, ancaman nuklir dan lain-lain menuntut kerja sama global. Terlepas dari agama, bangsa, dan bahasa umat sejagat disatukan oleh isu dan kepentingan yang sama tersebut. Memang, tidak ada yang bisa menjamin bahwa kasus serupa (pelecehan Nabi, perang, dan lain-lain) tidak terjadi lagi. Tetapi, dialog antar-peradaban dapat mengurangi ketegangan dan menjadi cara terbaik bagi penemuan win-win solution.

Sistem khilafah?
Saudara NA menyimpulkan sebuah hadis riwayat Abu Dawud bahwa hukuman bagi penista Nabi Muhammad SAW adalah hukuman mati. Ia menyatakan bahwa pelaksana hukuman adalah seorang khalifah dalam sistem khilafah islamiyah.
Saya setuju penista dan penghina Nabi Muhammad SAW dihukum berat. Tetapi kita tidak sedang bicara hukum Islam dan apalagi khilafah Islam. Teks-teks Alqur’an dan Sunnah (baca: Syari’ah) tidak serta merta secara langsung bisa diaplikasikan. Di samping mengandung aspek hukum yang masih perlu ditafsirkan, teks-teks Syari’ah juga banyak yang hanya mengandung prinsip-prinsip moral saja. Syari’ah seperti didefinisikan al-Syathibi mencakup “tindak-tanduk hati maupun tindakan-tindakan lahiriah yang nyata terlihat” (Al-Muwafaqat, 1302: 16). Jadi, suatu teks Syari’ah menjadi ­applicable setelah melalui serangkaian proses legislasi nasional dalam sebuah negara (Islam). Dalam banyak kasus, teks-teks Syari’ah harus ditafsirkan terlebih dahulu dan karena itu sering bersifat subyektif dan tak jarang dikompilasi lagi menjadi sebuah Qanûn (Sistem Hukum yang sudah mengadopsi hukum lain hasil ijtihad).
Problem lainnya, masih adakah kini khilafah islamiyah yang oleh NA bisa menjadi pelaksana hukuman mati dan mampu menyelesaikan krisis-krisis global? Sistem khilafah terpimpin (dengan empat Khulafa al-Rasyidun) telah berakhir sejak terbunuhnya Ali bin Abi Thalib (660 M), yang kemudian digantikan sistem monarki dengan sedikitnya tujuh dinasti (Umayah, ‘Abbasiyah, Umayah Spanyol, Fatimiyah Mesir, Usmani Turki, Syafawi Iran, dan Moghul India). Sejak Khilafah Turki Usmani runtuh pada tahun 1925, tidak ada lagi sistem khilafah (yang dalam Alqur’an dengan berbagai kata turunannya disebut 22 kali). Dunia berubah menjadi suatu nation-state dengan ciri dan sifat yang sangat berbeda.
Ini berarti hukum Islam (baik pidana dan perdata), dalam pengertian yang sudah ditafsirkan, diberlakukan dalam kerangka nation-state (seperti di Saudi Arabia). Harus disebutkan bahwa negara-negara Islam meski mengaku berdasarkan Syari’ah, namun memiliki konsep-konsep hukum yang berbeda. Sementara bangsa-bangsa Muslim (seperti Indonesia) hanya secara terbatas menerapkan hukum Islam dalam hukum keluarga (meliputi pernikahan, tolak, rujuk, kewarisan).
Apa artinya? Jarum sejarah tidak bisa diputar kembali. Ketimbang kita berfikir mundur tentang khilafah, mengapa kita tidak mengembangkan kerangka-kerangka dialog peradaban? Ketimbang kita berhipotesis bahwa sistem khilafah dapat menyelesaikan segala krisis global, lebih baik kita meningkatkan solidaritas seluruh bangsa. Alqur’an mengisyaratkan hal ini dalam (Al-Hujurat [49]: 13).
Tidak ada suatu sistem dunia pun atau institusi yang dapat menyelesaikan sendiri masalahnya. Kita hidup dalam suatu era yang dicirikan oleh globalisasi yang melahirkan suatu struktur di mana pelbagai negara-bangsa (nation-state) saling tergantung dan berinteraksi satu sama lain. Inilah yang oleh seorang sosiolog Harvard, Theda Scockpol (1979: 23), disebutnya sebagai suatu “waktu dunia” (“world time”).
Kita diingatkan, ketika tragedi gempa disertai tsunami mengguncang Aceh dan Nias, terlepas dari sekat-sekat agama, bangsa dan bahasa, dunia bahu membahu memberi bantuan. Solidaritas global membukakan mata hati manusia akan arti sebuah makna persaudaraan. Karena itu, kasus penghinaan Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh oknum suatu bangsa tetap kita kutuk keras, tetapi tetap dengan cara-cara bijak dan jangan sampai merusak hubungan antar bangsa. Bukankah Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak umat manusia?
Surakarta, 21 Februari 2006

Tidak ada komentar: